Kenali Kanker Ovarium Lewat 10 Langkah Ini Berikut Pentingnya Deteksi Dini Gangguan Tiroid

Ilustrasi (Dok:Net)

JAKARTA (SURYA24.COM)- Data Globocan tahun 2020 menunjukkan bahwa kanker ovarium menduduki peringkat ketiga sebagai kanker paling mematikan di kalangan perempuan di Indonesia. Jumlah kasusnya mencapai 14.896 dan menyebabkan 9.581 kematian pada perempuan. Hanya 20% dari pasien kanker ovarium yang terdeteksi pada stadium awal, dan 94% di antaranya berhasil mencapai harapan hidup lebih dari lima tahun. 

Kanker ovarium menyerang jaringan indung telur atau ovarium, oleh karena itu siapa pun yang terlahir dengan indung telur dapat menderita kanker ovarium. Selain itu, kanker ovarium adalah penyakit yang bisa diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu, penting untuk mengenali kanker ovarium pada stadium awal untuk memperoleh harapan hidup yang lebih panjang dan kualitas hidup yang lebih baik.

Menurut dr. Toto Imam Soeparmono, SpOG, K.Onk, MH, Dokter Spesialis Ginekologi Onkologi, dalam rilis yang dikirim kepada Femina terkait Kampanye 10 Jari yang diinisiasi oleh AstraZeneca, Cancer Information and Support Center (CISC), Kementerian Kesehatan RI dan Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kanker ovarium, 

"Kanker ovarium dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, terutama jika ada anggota keluarga yang pernah menderita kanker ovarium atau kanker lainnya seperti kanker payudara, prostat, kolorektal, maupun kanker rahim. Penyakit ini menjadi tantangan terbesar bagi para ahli onkologi ginekologi karena tidak menunjukkan gejala yang spesifik pada stadium awal, melainkan baru menunjukkan gejala pada stadium lanjut di mana sel kanker telah menyebar ke organ lain.” 

Oleh karena itu, dr. Toto menganjurkan para perempuan untuk mendeteksi kanker ovarium sejak dini dengan mengenali faktor risiko dan gejala awalnya. Selain itu, penting bagi individu yang memiliki riwayat keluarga dengan kanker ovarium atau payudara untuk melakukan pemeriksaan genetik.

Melalui Kampanye 10 Jari, perempuan Indonesia diajak untuk mengenali gejala dini dan faktor risiko kanker ovarium, demi mendapatkan perawatan yang tepat dari tenaga kesehatan serta kualitas hidup yang lebih baik.

"Untuk memperoleh kualitas hidup yang lebih baik, pengobatan kanker ovarium membutuhkan tindakan dan penanganan medis sejak dini. Melalui Kampanye 10 Jari, kami mengajak setiap perempuan dan keluarganya di Indonesia untuk menyadari bahaya kanker ovarium dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengantisipasi kondisi yang fatal ini. Selain itu, AstraZeneca, sebagai perusahaan biofarmasi global, berkomitmen untuk menghadirkan pengobatan kanker yang inovatif dan terobosan baru bagi para pasien, termasuk pasien kanker ovarium di Indonesia,” jelas dr. Feddy, Medical Director AstraZeneca Indonesia. 

Saat ini menurut dr. Theresia Sandra Diah Ratih, MHA, Ketua Tim Kerja Penyakit Kanker dan Kelainan Darah P2PTM, Kementerian Kesehatan RI, Kementerian Kesehatan RI telah melakukan upaya pendekatan pengendalian faktor risiko dan deteksi dini yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) pengendalian kanker tahun 2020 - 2024. Tujuan dari program ini adalah untuk melakukan deteksi dini kanker pada ? 80% penduduk usia 30-50 tahun di 514 kabupaten/kota pada akhir tahun 2024, termasuk kanker ovarium. 

“Namun, semua upaya ini tidak akan optimal tanpa dukungan dari seluruh sektor terkait, beserta seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, kami sangat mengapresiasi Kampanye 10 Jari sebagai langkah nyata membantu para penderita kanker ovarium di Indonesia,” ungkap dr. Theresia. 

"Kampanye 10 Jari" melambangkan 10 hal yang perlu kita perhatikan untuk mengenali kanker ovarium, yaitu enam faktor risiko dan empat pertanda penyakit. Yang termasuk dalam enam faktor risiko adalah: (1) memiliki riwayat kista endometriosis; (2) memiliki riwayat kanker ovarium dan/atau kanker payudara dalam keluarga; (3) mutasi genetik (misalnya BRCA); (4) paritas rendah; (5) gaya hidup yang buruk; (6) dan penuaan. 

Sementara itu, empat pertanda kanker ovarium adalah (1) kembung; (2) nafsu makan berkurang; (3) sering buang air kecil; (4) dan nyeri panggul atau perut3-6. Pada umumnya kanker ovarium tidak disertai gejala pada stadium awal.

Support System Bagi Pasien Kanker Ovarium 

Deteksi dini, perawatan dan pengobatan yang tepat memberikan peluang keberhasilan yang tinggi pada kanker ovarium stadium awal saat penyakit masih terbatas pada organ ovarium. Ketika seorang pasien didiagnosis menderita kanker ovarium, sangat penting bagi mereka untuk berkonsultasi dengan spesialis medis dan mematuhi pengobatan. 

Saat ini, terapi yang paling umum untuk kanker ovarium adalah operasi dan kemoterapi. Menurut Apt. Yovita Diane Titisari, M.Sc, Apoteker Klinis, dalam pengobatan kanker, kepatuhan menjadi hal utama dalam proses pemulihan yang perlu dilakukan secara konsisten.

"Penting bagi pasien kanker ovarium untuk patuh dalam menjalani pengobatan dan mengikuti instruksi dokter agar penyakit tidak semakin parah dan kambuh lagi. Pasien yang patuh dalam menjalani terapi menunjukkan kualitas hidup yang baik, sedangkan pasien yang tidak patuh menunjukkan hal yang sebaliknya,” ungkap Yovita. 

Menurut Yovita ada banyak faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien, salah satunya adalah komunikasi yang baik antara pasien dan penyedia layanan kesehatan, serta dukungan dari keluarga atau care giver. 

Selain itu, pasien kanker ovarium juga membutuhkan dukungan emosional yang dapat mendorong mereka untuk lebih patuh pada jadwal pengobatan sesuai program. Dalam hal ini, peran aktif dan kreatif komunitas dalam rangkaian pencegahan, diagnosis serta proses pengobatan sangatlah penting. 

“Tahap awal ketika seseorang mendapatkan diagnosis kanker ovarium tentulah mengalami gelisah, galau, sedih sampai terasa hidup ini segera akan berakhir, sehingga dukungan emosional sangat dibutuhkan supaya pasien dapat mengatasi gangguan psikologis dengan cepat. Jika ada pasien yang mendapat diagnosis kanker ovarium, CISC yang berdiri sejak tahun 2003 sebagai wadah informasi dan dukungan bagi para pasien dan keluarganya, siap memberikan dukungan agar pasien kanker ovarium di Indonesia dapat menjalani pengobatan yang bermutu dan tepat waktu,” tutup Aryanthi Baramuli Putri, SH., MH, Ketua Umum CISC.

Cegah Komplikasi dan  Gangguan Tiroid

Tiroid merupakan kelenjar penting dalam tubuh manusia yang berperan dalam mengatur metabolisme dan kesehatan tubuh. Hormon tiroid sangat diperlukan untuk membantu tubuh menggunakan energi agar tetap hangat, serta membuat otak, jantung, otot dan organ lainnya bekerja sebagaimana mestinya.

Sayangnya, kerja hormon tiroid ini dapat terganggu karena berbagai kondisi. Ada dua jenis gangguan hormon tiroid yaitu hipotiroid dan Hipertiroid. Hipotiroid adalah gangguan kesehatan yang terjadi karena kurangnya produksi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Kondisi ini dapat menyebabkan penderitanya mudah lelah dan susah berkonsentrasi. Salah satu penyebab hipotiroid adalah pola makan rendah yodium. 

Sedangkan hipertiroid adalah masalah kesehatan yang terjadi karena kelenjar tiroid dalam tubuh memproduksi hormon tiroid secara berlebihan. Kadar hormon tiroid yang tinggi menyebabkan metabolisme tubuh bekerja sangat cepat. Akibatnya tubuh akan mengalami sejumlah gangguan kesehatan seperti nafsu makan meningkat namun berat badan tidak kunjung naik, jantung berdebar kencing hingga sulit berkonsentrasi. 

Hingga saat ini penanganan kasus gangguan tiroid di Indonesia masih sangat rendah. Berdasarkan data Calculated Treatment Rate dari IQVIA Thyroid Data tahun 2022, prevalensi hipotiroid mencapai 12,4 juta orang dengan tingkat penanganan masih sangat rendah yaitu 1,9%. Padahal, dalam beberapa kasus hipotiroid dapat diturunkan dari ibu ke anaknya, yakni Hipotiroid Kongenital pada bayi baru lahir. Dimana kondisi ini dapat menyebabkan masalah kesehatan serius serta disabilitas intelektual pada anak. Data yang sama menunjukkan bahwa prevalensi hipertiroid sebanyak 13,2 juta, juga memiliki tingkat penanganan yang sangat rendah, hanya 6,2%.

Mengutip femina.id gangguan tiroid seperti dijelaskan oleh dr. Agustina Puspitasari, Sp.Ok, SubSp.BioKO(K), Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Tidak Menular Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dapat terjadi pada semua tahapan hidup. “Penyakit tiroid dapat terjadi pada siapa saja, namun terdapat beberapa faktor yang membuat seseorang berisiko menderita penyakit tiroid, antara lain: berjenis kelamin wanita, berusia di atas 60 tahun, memiliki keluarga dengan riwayat penyakit tiroid, memiliki riwayat menderita penyakit kronis seperti diabetes dan autoimun, pernah menjalani pengobatan dengan iodium radioaktif, pernah menjalani operasi tiroid, serta pernah menjalani radioterasi pada dada” ungkap dr. Agustina. 

Lantas apa dampak dari gangguan pada kelenjar berbentuk kupu-kupu ini? Bagi Ibu hamil yang menderita gangguan tiroid dapat menyebabkan kelahiran prematur dan depresi post-partum. Sedangkan bagi janin bisa menyebabkan bayi Lahir dengan kelainan kongenital dan retardasi mental. Pada anak-anak yang menderita gangguan tiroid dapat mengganggu perkembangan kognitif anak. Lalu pada remaja yang menderita gangguan tiroid dapat menyebabkan pubertas tertunda serta gangguan perkembangan mental. Pada usia dewasa gangguan tiroid dapat menyebabkan menopause dini hingga gangguan saraf. 

Karena seriusnya dampak yang ditimbulkan oleh gangguan fungsi tiroid ini, sehingga penting untuk melakukan skrining dan diagnosis gangguan tiroid sedini mungkin guna mencegah komplikasi masalah kesehatan serius lebih lanjut, serta memastikan layanan kesehatan berkualitas terkait penanganan gangguan tiroid. 

Dalam hal ini peningkatan kapabilitas tenaga kesehatan, khususnya dokter di semua multidisiplin ilmu terkait gangguan tiroid. Sayangnya, menurut Dr. dr. Tjokorda Gde Dalem Pemayun, Sp.PD-KEMD., FINASIM, Ketua Pengurus Pusat Indonesian Thyroid Association (PP InaTA), hingga saat ini diagnosis, terapi dan evaluasi  pasien gangguan fungsi tiroid di Indonesia masih belum optimal. Hal tersebut disebabkan karena banyak aspek antara lain: keterbatasan akses informasi, edukasi dari dokter, serta terbatasnya akses skirining awal dan pengobatan yang tepat. 

 

“Untuk itu, diperlukan kolaborasi multidisiplin  untuk menjembatani kerja sama dalam mengatasi tantangan skrining, penanganan dan pelayanan gangguan tiroid di Indonesia.  Penanggung Jawab utama kasus-kasus tiroid tidak hanya melibatkan satu spesialisasi saja, melainkan berbagai dokter spesialis di antaranya, dokter spesialis penyakit dalam bidang endokrin, bedah  onkologi, patologi, kedokteran nuklir, anak, mata dan lain-lain,” ungkap Dr. Tjokorda. 

Dr. Tjokorda pun menyambut baik kolaborasi terbaru antara PT Merck Tbk, bersama dengan PB IDI dan PP InaTA lewat program RAISE Tiroid. Diiharapkan melalui program ini pelayanan tiroid terpadu ke masyarakat akan bisa menjadi lebih optimal di masa depan.

Presiden Direktur PT Merck Tbk, Evie Yulin mengatakan, “Merck sebagai mitra bagi tenaga kesehatan, melihat adanya kebutuhan edukasi dan peningkatan kapabilitas dokter untuk dapat meningkatkan skrining dan diagnosis gangguan tiroid pada populasi dewasa berisiko tinggi dan bayi baru lahir di Indonesia. Hal ini sangat penting karena peran mereka sebagai lini terdepan yang memberikan layanan kesehatan langsung kepada masyarakat.” 

Program RAISE Tiroid yang merupakan bagian dari komitmen Merck Global, akan menjangkau sekitar 52.000 tenaga kesehatan serta menyelenggarakan skrining pada 3 juta populasi dewasa berisiko tinggi di 7.000 fasilitas kesehatan. Dengan demikian diharapkan pada tahun 2030 terapi penanganan hipotiroid dapat meningkat menjadi 5,5 kali lipat atau sebanyak 11% dari sebelumnya 1,9% pada 2022 dan hipertiroid menjadi 2,5 kali lipat sebanyak 15% dari sebelumnya 6,2% pada tahun 2022.

“Kami percaya dengan akses terhadap informasi yang tepat, para dokter dapat mengedukasi masyarakat dengan lebih baik. Penandatangan nota kesepahaman program RAISE Tiroid ini merupakan bagian dari komitmen jangka panjang Merck untuk mendukung dan berperan aktif dalam pembangunan kesehatan, khususnya pada upaya penanganan penyakit gangguan tiroid di Indonesia,” ungkap Evie. 

Merck Global berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran, diagnosis, dan penanganan gangguan tiroid melalui kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Sejak 2008, Merck Global telah bekerja sama dengan Thyroid Federation International (TFI) untuk meningkatkan kesadaran akan gangguan tiroid selama Pekan Kesadaran Tiroid Internasional yang diadakan setiap tahun antara tanggal 25-31 Mei. 

“Selain itu, berbagai inisiatif multichannel yang dilakukan Merck Global antara lain dengan meluncurkan platform edukasi berkelanjutan bagi tenaga kesehatan profesional melalui hcp.merckgroup.com dan FlixMD (platform edukasi berbasis video). Sementara itu, untuk masyarakat umum bisa mengakses www.thyroidaware.com, portal online yang tersedia dalam 12 bahasa, termasuk bahasa Indonesia, untuk mempelajari mengenai penyakit tiroid dan memanfaatkan fitur pemeriksa gejala gangguan tiroid,” tutup Rajiv Rana, MD, Head of Medical Affairs Asia Pacific Merck Group. ***