Nasib Gereja gereja Tua di Belgia Ditinggal Jemaat, di Inggris Menjadi Masjid dan di Amerika Beralih Fungsi Jadi Pabrik Bir

Suasana di dalam gereja Parochiekerk Sint-Macharius Laarne, Belgia (Arsip Pribadi Rintani Mundari)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Sejak kecil saya selalu bermimpi akan luar negeri, khususnya Eropa. Menikmati keindahan alamnya, merasakan segarnya udara di sana, bagaimana hectic-nya ketika menyeberang di "lampu merah" atau menyeberang tanpa harus menunggu motor dan mobil sepi.

Bebas melenggang tanpa harus lihat kanan-kiri asal berada di jalur zebra cross. Menyeberang tanpa khawatir diserempet sepeda motor ngebut yang pengemudinya tak memakai helm.

Impian saya berawal dari sebuah kulkas di rumah kakak tertua Papa yang biasa kami panggil dengan sebutan Mama Haji. Ada begitu banyak magnet tertempel di kulkasnya, sebuah tanda bahwa ia telah menyambangi banyak negara.

Mengutip cnnindonesia.com, tapi sungguh, itu sangat menginspirasi saya waktu kecil. Saya pun mulai mewujudkan satu persatu mimpi saya dan melakukan hal serupa ketika mendapat rezeki ke luar negeri.

Ya, selain cokelat, magnet kulkas menjadi buah tangan untuk teman, kerabat, atau keluarga sepulang dari luar negeri. Saya ingin para sepupu atau keponakan mulai merangkai mimpi akan luar negeri, entah untuk pelesir atau studi.

Seperti penggalan lagu Usik milik Feby Putri, Tuhan itu baik, merangkai ceritaku sehebat ini. Tetap menunggu dengan hati yang lapang. Bertahan dalam macamnya alur hidup. Sampai bisa tiba bertemu cahaya. Allah memang Maha Baik!

Kini, saya berkesempatan tinggal di Belgia - sebuah negara yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. First impression saya akan negara ini, daerah dan cuacanya bersih, indah karena banyaknya bunga yang bermekaran anggun di musim panas, dan bangunan-bangunan tua khas Eropa yang masih terjaga.

 

Bukan hanya itu, orang-orang sekitar juga ramah. Meski tak saling kenal tapi kami melempar senyum atau menganggukkan kepala. Ketika saya sedang berbelanja di Colruyt atau tengah menikmati sore hari di kawasan Kalken misalnya, melihat saya mengenakan hijab, mereka menyapa ramah. Alhamdulillah.

Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca artikel di situs berita yang mengatakan bahwa gereja di Belgia kini beralih fungsi menjadi restoran, hotel, kafe, venue panjat dinding, bahkan kelab malam. Hal ini disinyalir lantaran gereja itu telah sepi jemaat.

Sebuah fenomena yang mengkhawatirkan dan menyakitkan, demikian dikatakan oleh seorang Uskup di wilayah Antwerpen, Monseignor Johan Bonny.

Sebagaimana diketahui bahwa bangunan-bangunan suci ini dahulu merupakan tempat pertemuan dan pengabdian. Namun, kini menjadi saksi bisu dari perubahan dalam keyakinan dan kehadiran umat.

Di jantung Kota Mechelen, bangunan bekas gereja rencananya akan menjadi "hot spot" budaya. Bukan hanya itu, musik yang dimainkan gaungnya dapat didengar dari tempat tinggal Uskup Agung Belgia.

 

Penasaran, saya pun mengunjungi gereja yang tak jauh dari tempat saya tinggal, Parochiekerk Sint-Macharius Laarne yang berada di Dorpsstraat 6,9270. Berdasarkan papan yang saya baca di luar, gereja ini telah berdiri sejak tahun 1120.

Gereja abad pertengahan akhir ini adalah gereja berbentuk salib basilika dengan menara pusat dan gang samping yang sangat sempit dengan atap mimbar.

Setelah kehancuran masif selama perang agama tahun 1583, dilakukan restorasi besar-besaran. Pada abad ke-17, gereja ini diperluas menjadi gereja aula saat ini dan awal 1990-an, gereja ini mengalami pemugaran menyeluruh.

Meski lahir dari ratusan tahun silam, bangunan ini masih kokoh berdiri berkat dana para jemaat dan warga. Sayangnya, gereja indah nan megah ini sepi pengunjung. Ketika saya datang, seorang nenek keluar meninggalkan gereja.

Saya memberanikan diri masuk ke gereja, sesuatu hal yang tidak pernah saya lakukan selama di Indonesia. Ini menjadi kali kedua setelah kunjungan pertama saya ke Basilique Notre Dame De Montréal di Kanada.

Tiba di dalam, rasanya dingin dan merinding. Angin musim panas bahkan terasa menusuk tulang dan saya tidak menemui seorang pun. Padahal, saat itu saya berharap bertemu dengan pengurus gereja untuk bertanya beberapa hal yang tengah ramai diberitakan.

Saya kemudian mengunjungi gereja kedua yang berada di Wetteren Centrum, Sint-Gertrudis atau tepatnya di Wegyoeringstraat 21, 9230 yang berjarak 5,4km dari tempat saya tinggal. Lagi-lagi saya dapati hal yang sama, sepi dan sunyi.

Padahal, ada banyak orang tengah menikmati hari dengan nongkrong di kafe-kafe sekitaran gereja. Hanya ada seorang wanita paruh baya yang tengah berdoa di gereja yang memiliki kombinasi elemen Romawi, Gotik, dan Bizantium.

Sementara gereja ketiga lebih jauh, yakni Sint-Baafskatherdraal Gent yang berlokasi di Sint-Baafsplein 1, 9000 - tepat di tengah jantung kota Gent. Berbeda dari dua gereja yang saya kunjungi sebelumnya, Sint-Baafskatherdraal terbilang ramai.

Beberapa orang saya lihat tengah khusyu berdoa, sementara lainnya saya asumsikan sebagai wisatawan. Untuk masuk ke gereja ini tidak perlu membayar uang seper pun, namun ada dua area yang harus bayar, seperti jika kita ingin melihat 12 lukisan karya Pieter Bruegel bersaudara yang dibanderol sebesar 16 euro atau sekitar Rp267.855 Rupiah.

 

Sedikit mahal memang, tapi itu terbayarkan kok dengan pengalaman baru yang didapat. Sedangkan untuk memasuki area lain dikenakan biaya seharga 2 euro atau sekitar Rp33.481.

Saya berjalan memandangi setiap sudut gereja ini, atmosfernya masih sama, dingin. Ada begitu banyak lukisan yang tergantung di dinding dan patung-patung yang kokoh berdiri. Yang menarik tentu saja sejumlah "lilin doa" yang menyala. Artinya, masih ada orang yang mengunjungi gereja megah ini.

Saya juga mendengar sayup-sayup lagu rohani dinyanyikan oleh paduan suara Gereja. Menambah syahdu suasana gereja saat itu. Sementara di sudut lain Kota Gent, sebuah gereja beralih fungsi menjadi restoran. Ya, seperti yang ramai diberitakan.

Seorang warga lokal bernama Eve, yang saya temui di gereja Sint-Baafskatherdraal mengungkapkan bahwa di Kota Gent terdapat kurang lebih 149 gereja, tapi kini banyak yang sep jemaat. Pemerintah kota mengambil langkah untuk mengalihkan fungsi gereja. Dan seperti yang kami lihat, sejumlah gereja yang kini menjadi restoran, bahkan hotel.

Oiya, saya mengunjungi gereja-gereja itu di akhir pekan, waktu-waktu yang biasanya jemaat beribadah. Faktanya, pemberitaan di berbagai media memang benar adanya bahwa banyak gereja di Belgia yang sepi jemaat.

 

Beberapa gereja di negara ini tengah menghadapi krisis besar, seperti berkurangnya komitmen, memudarnya pengaruh, berkurangnya mahasiswa di berbagai seminari, banyak yang beralih keyakinan, skandal pedofilia yang menghancurkan reputasi kelompok Katolik, serta banyaknya penduduk yang enggan beragama.

Tak mengherankan jika pemerintah kota mengalihkan fungsi beberapa gereja yang terbengkalai. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Belgia, melainkan sejumlah negara di Eropa, seperti di Jerman, Belanda, Inggris, Skotlandia, hingga Swedia.

 Muslim Jadi Masjid

Mengutip republika.co.id, perkembangan agama Islam di benua Eropa dan Amerika Serikat (AS) terus meningkat. Bangunan-bangunan kecil yang mereka gunakan untuk sholat dan kajian-kajian Islam, kini tidak lagi mampu menampung banyaknya jamaah.

Di saat bersamaan, banyak bangunan-bangunan bekas gereja yang telah ditutup. Banyaknya gereja yang terpaksa ditutup ini, sehingga beralih fungsi menjadi tempat ibadah umat Islam.

Dilansir dari Breitbart pada 2 April 2017, The Gatestone Institute melaporkan terjadinya tingkat penutupan gereja-gereja di ibu kota Inggris Raya. Sehingga, banyak banyak juga dari gereja-gereja tersebut yang kemudian beralih menjadi masjid, tempat ibadah umat muslim.

Menurut laporan tersebut, london kini memiliki 423 masjid-masjid baru menggantikan 500 gereja yang telah ditutup.

"London lebih Islami dibandingkan muslim di banyak negara lainnya," ujar Maulana Syed Raza Rizvi, salah satu pengkhotbah, dilansir dari Beitbart, 2 April 2017.

Misalnya saja, di Gereja San Giorgio, yang dibangun untuk menampung 1.230 orang, namun hanya ada 12 orang yang mengikuti Misa. Begitu juga di Gereja Santa Maria, hanya ada 20 orang.

Sedangkan di Masjid Brune Street Estate yang hanya mampu menampung 100 jamaah, justru jamaahnya membludak. Apalagi setiap Jumat, jamaah akan turun hingga ke jalanan.

Berikut ini, beberapa gereja yang telah beralih fungsi menjadi masjid. Di antaranya :

A. Gereja Hyatt United dibeli oleh komunitas Mesir untuk kemudian diubah menjadi masjid.

B. Gereja Santo Peter di wilayah Stoke-on-Trent, kota Cobridge, Inggris. Gereja tersebut mulai sepi jemaat pada 2013 hingga kemudian tidak mampu bertahan dan dijual. Setelah dibeli umat muslim, gereja itu telah berganti nama menjadi Masjid Madinah.

 

C. Gereja Methodis telah dibuah menjadi Masjid Brick Lane. Masjid ini pertama kali dibangun pada 1743 sebagaintempat peribadatan umat kristen. Kemudian pada tahun 1897, bangunan itu diakuisisi oleh sekelompok orang Yahudi Lithuania ortodoks yang disebut Machzike Hadath.

Kemudian bangunan tersebut pada 1970-an tampak sudah tidak pernah digunakan lagi. Sehingga pada tahun 1976 bangunan tersebut dibeli dan mulai dibuka pada tahun 1978 oleh muslim Bangladesh.

Masjid ini dapat menampung hingga 3.200 jamaah termasuk jamaah perempuan). Masjid ini paling ramai dikunjungi saat shalat jumat dan semua khutbah disampaikan dalam bahasa Bengali, Inggris, dan Arab.

D. Gereja Bukit Sion di Kota Clitheroe, Lancashire, Inggris telah menjadi masjid sejak 2006. Gereja ini sudah ditutup sejak lama dan sempat berfungsi menjadi toko hingga pabrik garmen. Sampai akhirnya, umat muslim mengajukan agar bangunan tersebut dibeli untuk kemudian dijadikan masjid.

E. Gereja Katolik di wilayah Stoke-on-Trent, Kota Cobridge telah diubah menjadi masjid. Gereja ini dijual setelah jumlah jemaat umat Katolik yang datang semakin menyusut.

 

F. Gereja Didsbury di Kota Manchester, Inggris. Gereja ini telah dibangun sejak 1883 dan merupakan sebuah gereja komunitas Methodist.

Pada 1962 gereja tersebut ditutup karena menyusutnya jemaat. Kemudian pada 1967 bangunan gereja dibeli oleh komunitas Arab Syria yang tinggal disana tahun 1967. Kini gereja tersebut menjadi masjid yang megah lengkap dengan sebuah perpustakaan. Secara keseluruhan masjid ini mampu menampung 1000 jemaah.

G. Masjid New Peckham di London. Sebelumnya merupakan gereja Anglikan Saint Mark yang dibangun pada 1880. Bangunan gereja tersebut sempat rusak tapi kemudian diperbaiki dan menjadi sekolah kristen. Tapi kemudian pada 1980 bangunan tersebut kemudian berubah menjadi masjid.

Sumber:

https://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&hl=id&nv=1&prev=search&pto=aue&rurl=translate.google.com&sl=en&sp=nmt4&u=https://www.breitbart.com/europe/2017/04/02/gatestone-institute-423-new-mosques-500-closed-churches-london/amp/&usg=ALkJrhjCHT0aXYZzsokubcax0oKM2c-g0w

Pabrik Bir

Pasang surut keadaan ekonomi di Amerika Serikat berdampak pada operasi sebuah gereja di Pittsburgh. Gereja Katolik St. John yang sudah tak berfungsi diubah menjadi pabrik bir.

Di Amerika terdapat ratusan ribu gereja. Ada sekitar 4.000-5.000 gereja baru yang menerima Jamaah tiap tahun, sekitar jumlah sama pula yang tutup tiap tahun umumnya karena alasan ekonomi.

Mengutip okezone.com, karena sumber pemasukan berkurang, gereja kosong dan hanya menunggu sampai ada pihak yang berminat untuk membeli atau mengontraknya menjadi sesuatu yang lain bagi kepentingan masyarakat.

Tidak jarang gereja yang sudah tidak berfungsi dibeli oleh investor lalu disulap menjadi kompleks apartemen, toko buku, dan museum. Dan ada juga yang beralih dari gereja menjadi masjid. Contohnya, masjid IMAAM untuk komunitas muslim Indonesia di Ibu Kota Washington dan sekitarnya.

Yang jarang terdengar kalau bangunan gereja beralih fungsi menjadi tempat pembuatan minuman bir. Ini terjadi di Kota Pittsburgh, Pennsylvania.Pabrik bir

Tampak dari luar tidak ada yang luar biasa dari sebuah bangunan yang tadinya adalah gereja Katolik Roma di Kota Pittsburgh. Di dalam segalanya masih tetap tradisional. Bangku-bangkunya diatur di sekeliling meja makan. Bekas tempat pengakuan dosa sekarang dijadikan bar dengan minuman alkohol. Sedang yang tadinya altar sekarang dijadikan tempat membuat minuman bir.

Gereja St John di Kota Pittsburg itu didekonsekrasi menjadi bar Church Brew Works, 23 tahun lalu. Dekonsekrasi adalah proses perubahan suatu tempat dari peruntukan relijius menjadi tempat umum.

Pertumbuhan ekonomi yang waktu itu sedang pesat berangsur-angsur mulai melambat. Seiring dengan itu makin banyak penduduk meninggalkan kota itu, jumlah penduduk yang menetap di sana untuk mempertahankan gereja itu tetap berfungsi, makin menyusut.

“Gereja ini dibangun pada 1902 kemudian dijual. Saya lihat ini bangunan yang tepat. Mari lakukan suatu yang baik. Saya kira cocok untuk dijadikan tempat pembuatan bir ala Eropa,” kata Sean Casey, pemilik Church Brew Works, pabrik pembuatan bir itu.

Tantangan terbesar baginya menempatkan enam tangki besar pembuatan bir di tempat yang tadinya altar. Sekarang Dan Yarnall mengepalai proses pembuatan bir di situ. Menurutnya, membuat bir itu mulia.

“Bagi saya membuat bir hampir sama dengan meditasi. Apa pun yang terjadi pada hidup saya, begitu tutup itu saya buka dan serelia mulai bercampur dalam air panas, dan prosesnya mulai, saya tidak dapat menghentikannya. Prosesnya harus terus hingga selesai. Saya tidak memikirkan yang lain kecuali membuat bir yang disenangi,” kata Yarnall.

Namun, memerlukan waktu beberapa lama barulah orang dapat menerima keunikan bagian dalam dari bangunan tempat pembuatan bir itu.

“Pertama kali saya datang ke sini saya merasa ‘minum bir di gereja.’ Saya merasa tidak nyaman. Tetapi kemudian ketika saya ketahui tempat itu bukan lagi sebagai gereja, saya ikut saja dengan orang lain yang datang ke situ,” kata seorang pengunjung Church Brew Works.

Sean Casey berharap anak-anaknya akan meneruskan bisnis keluarga itu dengan melayani masyarakat setempat betapapun tampak tidak tradisionalnya. Paling tidak, katanya, ia memberkahi mereka.***