Hubungan Memanas: Pelukan Hangat Bung Karno Dibalas Sikap Dingin Jenderal Soedirman, Kok Bisa? Begini Penjelasannya

(Dok:ANRI/IPPHOS©2022 Merdeka.com)

JAKARTA (Surya24.com) - Jenderal Soedirman pergi ke Gedung Agung, Istana Presiden di Yogyakarta. Kondisi sakit tak menyurutkan langkah Soedirman. Dengan mengenakan mantel hitam dan piama, Soedirman menemui Presiden Sukarno.

Dalam buku Soedirman: Seorang Panglima Martir dijelaskan, kedatangannya bermula ketika Jenderal Soedirman mendengar serangan Belanda terhadap Yogyakarta. Dia mengutus Kapten Soepardjo Roestam untuk menemui Sukarno. Namun Soepardjo tidak kunjung kembali. Padahal situasi sedang genting karena Belanda menyerang Lapangan Terbang Maguwo pagi tanggal 19 Desember 1948.

Melansir merdeka.com, Sang jenderal segera meninggalkan rumah setelah beristirahat selama tiga bulan karena sakit.

"Pak Dirman seakan-akan memperoleh kekuatan setelah mendengar Belanda melancarkan serangan," ungkap Soepardjo Rustam.

"Tidak ada sesuatu yang penting. Pulang saja, istirahat," ucap Bung Besar kepada Sang Jenderal.

Kekecewaan Jenderal Soedirman

Dua kali Presiden Sukarno meminta Soedirman untuk istirahat. Dua kali juga Jenderal Soedirman menolak permintaan tersebut. Tawaran dokter Asikin Widjajakoesoemah juga ditampik oleh Soedirman.

Soedirman memilih mendengar hasil sidang kabinet. Hasil sidang kabinet, tidak akan mempertahankan Yogyakarta. Para pemimpin sipil tidak mendukung keputusan Soedirman yang hendak bergerilya melawan Belanda.

Bisa ditebak, keputusan itu membuat Jenderal Soedirman kecewa. Menurut sejarawan Rusdy Husein, persoalan tersebut menjadi awal keretakan antara Presiden Sukarno dengan militer. Pasalnya, Bung Karno pernah berjanji akan berjuang bersama dalam perang gerilya apabila Belanda menyerang Yogyakarta.

Bung Karno lantas membujuk Soedirman untuk tetap tinggal di Yogyakarta dan beristirahat di rumah. Lagi dan lagi tawaran tersebut ditolak Sang Jenderal. Soedirman yang terkenal akan sikapnya yang pantang menyerah memilih masuk ke dalam hutan.

Sebelum meninggalkan Gedung tersebut, Soedirman memerintahkan anak buahnya untuk mengeluarkan pengumuman di radio yang ditujukan bagi seluruh tentara agar berjuang secara aktif melawan Belanda. Sementara itu, Dwitunggal yakni Bung Karno dan Bung Hatta ditahan Belanda dan dibuang ke Pulau Banda.

Sindiran Sang Jenderal

Jenderal Soedirman mengobarkan semangat gerilya. Dalam usahanya tersebut, dia secara tegas menolak dan menentang aksi-aksi perundingan dengan Belanda. Sikapnya itu ditunjukkan kepada Sjafruddin Prawiranegara sebagai kepala negara darurat saat itu melalui radiogram.

"Apakah pantas orang-orang yang berada dalam tahanan atau berada dalam pengawasan tentara berhak melakukan perundingan dan mengambil keputusan politik buat menentukan nasib Republik?" ucap Soedirman kepada Sjafruddin yang juga disampaikannya kepada Kolonel Hidayat (Komandan tentara di Sumatera pada 25 April 1949).

Sindiran tersebut tidak mempan. Nyatanya, perundingan Roem-Royen tetap dilaksanakan di Jakarta tanggal 7 Mei 1949 dengan hasil yang tidak bisa diterima Jenderal Soedirman.

Membujuk Jenderal Soedirman

Sebagai upaya untuk mencairkan suasana, Presiden Soekarno mengirim surat kepada Jenderal Soedirman. Tepat 2 minggu setelah perundingan ditandatangani. Isi surat tersebut, Presiden Soekarno membujuk Jenderal Soedirman kembali ke Yogyakarta. Agar pemimpin sipil mudah melakukan kontak dengan militer.

Tak cuma Bung Karno. Sri Sultan Hamengkubuwono IX juga menulis surat untuk Soedirman pada 6 Juli 1949. Isinya serupa yakni membujuk Sang Jenderal kembali ke Yogyakarta agar tidak terkesan telah terjadi perpecahan dalam kepemimpinan RI. Surat tersebut disampaikan oleh Letkol Soeharto.

Tiga hari setelahnya, Jenderal Soedirman bersedia turun gunung. Pada pagi buta Soedirman diantar oleh Kolonel T.B. Simatupang ke Yogyakarta. Soedirman masih tidak bisa menerima hasil Perundingan Roem-Royen.

Pelukan Bung Karno pada Soedirman

Tiba di Yogyakarta, Soedirman hendak menemui pasukannya. Namun, diarahkan oleh Simatupang untuk menemui Presiden dan Wakil Presiden terlebih dahulu. Awalnya Soedirman menolak. Tetapi pada akhirnya dia menerima rencana tersebut.

Setibanya di Gedung Agung, Jenderal Soedirman hanya diam mematung di beranda. Bahkan, seperti tidak ingin masuk. Suasana tegang karena Sang Jenderal masih marah kepada Presiden. Presiden Sukarno mengalah dan menghampiri Soedirman sembari memeluk Sang Jenderal.

 

Dalam peristiwa tersebut Bung Karno memerintahkan Frans Mendur untuk mengabadikan momen tersebut. Tetapi dirasa tidak tepat waktunya.

"Momennya tepat tidak?" tanya Bung Besar kepada Frans.

"Terlalu cepat," Frans menjawab dengan menggeleng.

"Kalau begitu, diulang adegan zoetnjes-jnya," kata Bung Karno.

Tetapi Soedirman tetap tidak memeluk balik. Di balik momen tersebut, tensi antara militer dan sipil masih tinggi. Hingga akhir, Jenderal Soedirman masih tidak ingin melakukan gencatan senjata sebelum proses negosiasi selesai. Hal ini dinyatakannya dalam memo pada 1 Agustus 1949.

Jenderal Soedirman Minta Dibebastugaskan

Keesokan harinya, Soedirman, Nasution, dan Sukarno bertemu di Istana Negara Yogyakarta. Soedirman menyatakan tidak sanggup mengikuti kebijakan politik pemerintah. Dia meminta dibebastugaskan. Akan tetapi, Presiden Sukarno menanggapinya sebagai berikut.

"Bila pemimpin TNI mengundurkan diri, Soekarno-Hatta akan lebih dulu mengundurkan diri."

Pertemuan tersebut diakhiri dengan tidak adanya keputusan. Ketika sore hari, Jenderal Soedirman sempat berdialog dengan A.H. Nasution terkait hal tersebut. Dalam percakapan tersebut, A.H. Nasution mengatakan bahwa persatuan antara militer dan Soekarno-Hatta lebih penting untuk dilakukan saat ini dibanding mempersoalkan strategi. Jenderal Soedirman setuju dengan hal tersebut dan batal mengundurkan diri.***