Kisah Mesin Jahit Peninggalan Nenek, Kejadian Misterius Tujuh Hari Setelah Nenek Meninggal

(Dok: Pramono Estu)

JAKARTA (SURYA24.COM) -Nenek meninggal, ibu menangis terisak-isak. Aku ingat, saat itu aku masih kelas 2 SD. Rumah Nenek segera saja kosong, karena seluruh anaknya telah memiliki rumah sendiri-sendiri.

Dulu, Nenek tinggal bersama kakek, sebelum akhirnya kakek meninggal saat aku masih murid TK.

Karena rumah nenek sudah kosong, seluruh keluarga besar sepakat untuk bersama-sama membereskannya.

Maka, setelah rangkaian tahlilan tujuh hari Nenek selesai digelar, kami tinggal di sana sambil merapikan semua pakaian dan perabot.

Suatu siang, di rumah menek hanya ada aku dan ayah. Beliau sedang mendapat jatah libur bekerja, sementara ibu dan kedua paman serta bibiku sedang keluar untuk mengurus beberapa hal terkait tahlilan tujuh hari kemarin.

Aku sendiri sudah pulang sekolah sejak pukul 11. Ayah membaca koran di ruang tamu. Sedang aku berlatih gerakan olahraga di ruang televisi, sendirian.

Sekolahku akan menggelar lomba olahraga antarkelas dan aku menjadi salah satu wakil dari kelasku.

Televisi di depanku sedang dalam kondisi mati. Jadi, bayanganku terpantul jelas di layar televisi itu.

Akhirnya, aku kelelahan dan berhenti menghadap bayanganku sendiri di sana.

Tiba-tiba sesuatu terjadi sangat cepat. Tepat di atas pundak kiriku, sebuah bayangan tangan muncul dan bergerak, seakan-akan seseorang hendak memeluk pundakku.

Tidak berhenti sampai di situ, sebuah bayangan tangan lain muncul, kali ini di pinggang kananku.

Kedua bayangan tangan ini seolah-olah menunjukkan ada orang di belakangku dan berniat memutar badanku ke belakang untuk memelukku, seperti yang sering dilakukan nenek.

"Nenek?!" teriakku dalam hati.

Badanku kaku dan tidak bisa bergerak. Tiga detik kemudian, sesuatu yang lain terjadi.

Mendadak, mesin jahit kesayangan nenek yang terletak tidak jauh dari televisi itu hidup sendiri.

Berbunyi, seakan-akan Nenek sedang menjahit!

Badanku tidak lagi kaku.

 

Tepat saat mesin jahit tadi bergerak, aku langsung lari ke ruang tamu, memeluk ayah dan bercerita tentang apa yang baru saja terjadi.

Nenek bilang tidak sendiri, karena setiap pagi dan sore kakek menemani duduk di kursi. Ayah tidak terlihat takut, tapi dia mengajakku kembali ke ruang televisi.

Kami memandang bayangan kami di layar televisi yang mati: tidak ada apa-apa.

Lalu, kami memeriksa mesin jahit nenek: kabelnya tidak dicolokkan, jadi seharusnya ia tidak berbunyi sama sekali.

Hiii... “Mungkin, tadi nenek cuma kangen sama kamu,” ujar Ayah.

Malam harinya, aku diam-diam mendengar ayah bercerita pada ibu dan paman serta bibiku soal apa yang terjadi.

“Tadi siang Sinta yang diganggu. Katanya, ada tangan yang pegang pundak dan pinggangnya. Mesin jahit ibu juga nyala lagi.”

“Tuh kan, benar, berarti aku nggak berhalusinasi waktu itu!” Itu suara bibi Romela, adik kedua ibu.

“Kemarin lusa, waktu kalian sedang berjalan-jalan pagi selepas Subuh, mesin jahitnya hidup sendiri. Sumpah!”

Hening. Kurasa, orang-orang dewasa ini sedang berpikir.

“Waktu ibu tinggal sendirian di sini, apa beliau aman-aman saja, ya? Atau ini cuma terjadi setelah tahlilan tujuh hari kemarin saja?” aku mendengar ibuku bertanya, hampir berbisik.

Suara berdehem. Paman Anton, adik pertama ibu, kemudian menjawab, “Aku pernah bertanya pada ibu, kenapa beliau nggak mau kuajak tinggal di rumahku bersama Stella dan anak-anak."

"Maksudku, itu kan lebih baik daripada ibu tinggal sendiri.”

“Terus jawaban ibu apa?”

Paman Anton berdehem lagi. Lalu katanya, “Ibu bilang, ‘Ibu nggak sendirian, kok, Le.’ Aku tanya lagi, apa maksudnya. Jawabnya lagi, ‘Ibu tinggal di sini sama bapak, Le. Setiap pagi dan sore, bapak duduk di kursi ini. Ibu nggak sendirian.’

“Kursi yang dimaksud ibu, ya, satu-satunya set kursi di ruang televisi ini, yang kita duduki.”

Aku tidak tahu apa yang terjadi di luar, tapi suara langkah kaki yang seolah melompat dan menjauh langsung terdengar.

Kurasa, semua orang dewasa itu sedang ketakutan. (Seperti dikisahkan Afra di Koran Merapi) *