Tak Banyak yang Tahu, Ternyata Tentara Tangguh Uni Sovyet 'Menyamar' di Kapal Selam Angkatan Laut RI

(Soviet Navy 1960. ©Wikipedia/National Museum of the U.S. Navy)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Untuk melancarkan upaya konfrontasi melawan Belanda di Irian Barat, ratusan prajurit Angkatan Laut Uni Sovyet 'menyamar' sebagai sukarelawan di kapal-kapal selam milik ALRI.

Agustus 1960, HNMLS Karel Doorman milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda memasuki perairan Papua. Kapal induk yang memiliki nomor lambung R81 itu khusus datang dari pangkalan mereka di Den Helder demi memperkuat pertahanan laut militer Belanda di wilayah Hollandia Barat, sebutan orang-orang Belanda untuk Irian Barat (sekarang Papua).

"Yang paling penting, dengan mendatangkan kapal induk tersebut, Belanda secara terbuka telah melangsungkan pamer kekuatan di depan muka Indonesia," ungkap sejarawan Rushdy Hoesein sebagaimana dilansir merdeka.com.

Tantangan itu tentu saja membuat Presiden Sukarno naik pitam. Hubungan diplomatik Indonesia dan Belanda yang tengah menghangat saat itu meningkat panas. Secara tegas, Bung Besar memerintahkan supaya diplomat-diplomat Indonesia pulang dari Den Haag dan sebaliknya mengusir para diplomat Belanda dari Jakarta.

"Saya perintahkan Departemen Luar Negeri untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan negeri Belanda!" ujar Sukarno dalam pidato kenegaraan pada 17 Agustus 1960 yang terbuhul dalam buku Mochamad Said, Pedoman Untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat.

Tidak cukup itu, Presiden Sukarno pun memerintahkan Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal A.H. Nasution untuk membeli banyak peralatan perang ke Uni Sovyet. Itu dilakukan supaya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menjadi lebih kuat saat melaksanakan Operasi Trikora di Papua.

"Agar Angkatan Perang kita up to date, terutama sekali di hadapan ancaman yang telah ditunjukan oleh pihak Belanda di Irian Barat terhadap kita," ujar Bung Karno dalam amanatnya saat memperingati Hari Armada di Surabaya pada 6 Januari 1961.

Beli Kapal Selam Canggih dari Uni Sovyet

Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) termasuk matra yang menurut Sukarno harus diperbaharui kekuatannya. Sebagai tindak lanjut dari perintah sang presiden itu, maka ALRI menambah pembelian kapal selam kelas Whiskey dari Uni Sovyet. Dari 6 menjadi 12.

Permintaan itu langsung dikabulkan Perdana Menteri Nikita Krushchev dengan mengirimkan kapal selam yang memiliki torpedo otomatis 533 mm, senjata bawah air tercanggih di era itu.

Persoalan muncul ketika ALRI tidak memiliki kru lagi untuk mengisi 6 kapal selam tambahan itu. Maka untuk mengantisipasi situasi itu, pemerintah RI 'mengundang' ratusan kru kapal selam Angkatan Laut Uni Soviet untuk menjadi sukarelawan. Lagi-lagi Uni Sovyet mengabulkan permintaan RI tersebut.

"Yang saya ingat, ada sekitar 300-an anggota Angkatan Laut Uni Sovyet hadir di Surabaya guna memperkuat enam kapal selam yang belum memiliki kru Indonesia itu," ungkap Laksda TNI (Purn) I Nyoman Suharta, eks awak kapal selam Korps Hiu Kencana TNI-AL angkatan pertama.

Penyamaran Prajurit Tangguh Uni Sovyet

Semua anggota Angkatan Laut Uni Sovyet itu praktis melakukan aktivitas di Indonesia 'atas dasar sukarela'. Karena statusnya sebagai 'sukarelawan', maka dalam kegiatan sehari-hari, mereka menjalankan tugas tanpa menyandang jabatan resmi dan pangkat sama sekali.

Soal kehadiran dan peran penting orang-orang Rusia itu diakui juga oleh F.X. Soeyatno. Bahkan tidak sekadar sebagai instruktur, mereka pun terlibat aktif dalam patroli. Alumni Akademi Angkatan Laut (AAL) angkatan ke-9 itu bersaksi jika mereka merupakan prajurit bawah laut yang tangguh.

"Saya pernah bertugas bersama mereka mengawasi perairan sepanjang Pantai Utara Irian Barat…" ungkap eks awak kapal selam RI Tjudamani tersebut.

Kesan Soeyatno terhadap mereka sangat baik. Walaupun berasal dari negara adidaya, prajurit-prajurit AL Uni Sovyet itu jauh dari sikap arogan. Mereka memang tegas saat menjadi instruktur namun dalam keseharian sangat bersahabat. Kendati berbeda bangsa dan bahasa, hubungan antara awak Rusia dengan awak Indonesia berjalan lancar.

"Jauh hari kami memang sudah diajarkan bahasa dan budaya Rusia sehinga faktor perbedaan bangsa itu tidak menjadi masalah saat kami bekerja sama," ungkap anggota ALRI yang mengakhiri karirnya sebagai kolonel itu.

Selama di Indonesia, orang-orang Rusia itu ditempatkan di Asrama KPALU masuk kawasan Dermaga Ujung, Surabaya. Hidup mereka sehari-hari ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah RI. Menurut Suharta, cukup sulit bagi orang luar untuk menemui mereka. Selain sibuk mengajar calon awak kapal Indonesia, orang-orang Rusia itu pun tidak sembarangan bergaul kecuali dengan para anak didik mereka.***