Kesaksian Anak Buah Sambo Takut Dibunuh, Gemetar Tak Kuat Berdiri: Taktik FS Kenakan Kacamata Mesti Diwaspadai Hakim dan Jaksa Diharap Tak Terpukau

Mantan anak buah Ferdy Sambo, Arif Rachman Arifin menangis di hadapan hakim ketika menceritakan ketakutannya dibunuh seperti Brigadir J (ANTARA FOTO/Henry Purba)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Mantan Wakaden B Biro Paminal Propam Polri AKBP Arif Rachman Arifin mengungkapkan ketakutannya berkali-kali di hadapan hakim dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Mantan anak buah Ferdy Sambo di Divisi Propam Polri itu mengaku takut dibunuh seperti Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J). Dia pun gemetar saat menonton rekaman CCTV.

Dikutip dari cnnindonesia.com, dia mengungkapkan itu semua saat diperiksa sebagai terdakwa di sidang kasus perintangan penyidikan (obstruction of justice) pembunuhan terhadap Brigadir J hari ini, Jumat (13/1).

Sambo marah Kabareskrim olah TKP

Arif menyebut Ferdy Sambo marah ketika tahu olah tempat kejadian perkara (TKP) dipimpin oleh Kabareskrim Komjen Agus Andrianto pada 12 Juli lalu.

 

Olah TKP yang dimaksud dilakukan di rumah dinas Sambo yang terletak di Komplek Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan terkait dengan pembunuhan Brigadir J.

"Ferdy Sambo juga menelepon kami. Setelah Pak Hendra menelpon Pak Ferdy Sambo menelpon. Menanyakan hal yang sama tapi sudah dengan nada marah. 'Mereka tidak tahu itu rumah saya. Apa mereka tak punya tata krama izin dengan saya'. Saya cuma siap siap saja," ujar Arif.

Menangis takut dibunuh Sambo

Arif menangis di persidangan saat menceritakan ketakutannya bernasib seperti Brigadir J yang dibunuh Sambo.

Arif mengaku takut, sehingga tak memiliki keberanian untuk mengatakan bahwa Brigadir J masih hidup saat Sambo tiba di rumah dinasnya pada 8 Juli lalu kepada pimpinan tim khusus (Timsus) bentukan Kapolri Listyo Sigit Prabowo.

"Rasa takut itu besar yang mulia. Kemarin ketika saya ceritakan beda dengan Pak Ferdy Sambo aja terus terang saya takut," ujar Arif.

"Istri saya sempat bilang ingat Pak, anak-anak. Bayangkan ajudan aja bisa dibunuh. Gimana saya enggak kepikiran," kata Arif.

Gemetar tak sanggup berdiri

Arif mengaku gemetar hingga tak sanggup berdiri saat mengetahui Brigadir J masih hidup. Dia mengatakan Brigadir J masih hidup ketika Sambo tiba di rumah dinasnya pada 8 Juli lalu.

 

Arif mengaku mulai tak mempercayai cerita Sambo mengenai peristiwa penembakan Brigadir J setelah menonton rekaman CCTV.

Kala itu ia menonton di rumah Ridwan Soplanit yang saat itu menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Jakarta Selatan.

"Kondisinya itu setelah menonton benar yang kemarin dibilang Chuck, saya sebenarnya tidak bisa ngomong yang Mulia, dengkul saya ini mau berdiri dari kursi di depan rumahnya Ridwan itu tidak bisa," kata Arif.

"Jadi keluar menelepon awal mulanya itu menelepon tidak bisa berdiri karena gemetar, jadi sambil jongkok menelepon Pak Hendra," lanjutnya.

Nonton sidang dari TV di Rutan Bareskrim

Ketua majelis hakim Ahmad Suhel mencurigai Arif mengikuti perkembangan sidang kasus obstruction of justice pembunuhan berencana Brigadir J melalui televise. Pasalnya keterangan Arif menjadi berbeda dari persidangan sebelumnya.

Arif lalu mengaku bisa menonton televisi di dalam rutan Bareskrim.

Hakim Suhel kemudian mengungkapkan alasan melontarkan pertanyaan tersebut kepada Arif. Menurutnya, keterangan Arif berbeda dengan persidangan sebelumnya.

"Kenapa saya tanyakan itu? Karena ada keterangan yang kemudian menjadi berbeda, itu loh, ya, di persidangan sana dia ngomong begitu, di persidangan sini, gitu terus. Ini kok ceritanya seperti mengikuti perkembangan-perkembangan persidangan," ujar Suhel.

 

Diharap Tak Terpukau

Sementara itu psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menilai gaya terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), Ferdy Sambo, yang kerap mengenakan kacamata dalam persidangan tak bisa dianggap remeh.

Sebab menurut Reza hal itu adalah bagian dari siasat terdakwa buat memoles citra mereka sebagai pribadi yang santun di hadapan jaksa penuntut umum dan majelis hakim. Tujuannya adalah buat meringankan hukuman para terdakwa.

"Bukan sebatas gimik, apalagi untuk gagah-gagahan. Faedah kacamata terhadap jalannya persidangan ternyata tak bisa dipandang sebelah mata," kata Reza dalam keterangannya pada Rabu (11/1/2023).

Dikutip dari kompas.com, Reza mengatakan, kebiasaan mengenakan kacamata dalam sidang yang dilakukan oleh Ferdy Sambo dikenal sebagai nerd defense atau pembelaan si kutu buku. Maksudnya adalah dengan mengenakan kacamata terdakwa seolah menampilkan diri laiknya seorang kutu buku, santun, dan alim. Atau dengan kata lain, terdakwa yang tidak pernah mengenakan kacamata dalam kondisi normal mendadak mengubah penampilan dengan kacamata tanpa ukuran selama persidangan.

Reza mengatakan, pengaruh dari penggunaan kacamata oleh seorang terdakwa dalam persidangan atau penerapan taktik nerd defense sudah dikaji secara ilmiah melalui sejumlah studi.

Hasilnya adalah dengan mengenakan kacamata, maka terdakwa seolah terlihat lebih cerdas, tidak intimidatif, sehingga mengurangi kesan sebagai seorang penjahat. "Ujung-ujungnya, berkurang kemungkinan terdakwa divonis bersalah. Atau, karena ia terkesan lebih manusiawi, hukumannya bisa lebih ringan," ucap Reza.

Dalam dakwaan jaksa penuntut umum disebutkan Richard Eliezer (Bharada E) menembak Yosua atas perintah Ferdy Sambo. Peristiwa pembunuhan Yosua disebut terjadi setelah cerita Putri Candrawathi yang mengaku dilecehkan Yosua di Magelang.

Kemudian, Ferdy Sambo marah dan merencanakan pembunuhan terhadap Yosua yang melibatkan Richard Eliezer, Ricky Rizal, dan Kuat Ma'ruf. Akhirnya, Brigadir J tewas di rumah dinas Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan pada 8 Juli 2022.

Atas perbuatannya, Richard Eliezer, Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal Wibowo, dan Kuat Ma'ruf didakwa melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 56 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kelimanya terancam pidana maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun.

Khusus Sambo, jaksa juga mendakwa eks Kadiv Propam itu terlibat obstruction of justice atau perintangan proses penyidikan pengusutan kasus kematian Brigadir J. Ia dijerat dengan Pasal 49 juncto Pasal 33 subsider Pasal 48 Ayat (1) juncto Pasal 32 Ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau Pasal 233 KUHP subsider Pasal 221 Ayat (1) ke 2 juncto Pasal 55 KUHP.

Dalam kasus ini, Richard adalah terdakwa satu-satunya yang mendapat status justice collaborator atau saksi pelaku.***