Teringat Ibu, Serdadu Belanda yang Meregang Nyawa Berteriak: Mami! Mami Mami

Komandan tentara Belanda memeriksa kondisi anak buahnya yang terkena tembakan gerilyawan Republik di.( Arsip Nasional Belanda©2023 Merdeka.com)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Bagaimana rasa kemanusiaan harus berhimpitan dengan ketidakmanusiaan dalam sebuah perang? Inilah kisah para petarung yang terlibat dalam Perang Kemerdekaan di Indonesia.

Foto lama itu berbicara banyak. Seorang serdadu Belanda berpangkat sersan mayor tengah menghibur salah satu prajuritnya yang terluka parah. Agar tidak khawatir dan bertahan selagi tim medis belum datang. Disebutkan, serdadu muda itu terluka oleh sebutir peluru dari seorang penembak runduk gerilyawan Republik (yang mungkin seusia juga dengannya).

"Kejadian itu berlangsung di suatu kampung yang masuk dalam wilayah Garut," demikian keterangan yang tercantum dalam foto milik Arsip Nasional Belanda tersebut.

Dikutip dari merdeka.com, Garut memang menjadi wilayah yang banyak menelan korban di pihak militer Belanda selama berlangsungnya Perang Kemerdekaan (1945-1949). Menurut Darja, seorang eks gerilyawan Republik di Garut, dalam suatu penyanggongan (pengadangan) pada awal 1947, dirinya pernah terpaksa menembak mati seorang tentara Belanda yang masih belia di Jalan Raya Bayombong-Cikajang.

"Saya ingat kejadian itu berlangsung menjelang pukul lima sore. Kami mendapat informasi ada sebuah truk militer Belanda dari Garut yang tengah menuju Cikajang," ujar lelaki yang meninggal pada 2019 dalam usia 94 tahun tersebut.

Teringat Ibu Sebelum Tewas

Bersama kawan-kawannya di Batalyon Garuda Hitam pimpinan Mayor Mochamad Rivai, Darja lantas berstelling di ketinggian sebuah kelokan tajam yang diapit tebing dan jurang. Begitu truk itu tiba dan masuk killing ground, tanpa ampun disiram ratusan peluru dari Regu Darja. Akibatnya, truk tersebut oleng dan membentur tebing lalu terguling di jalan.

 

 

Setelah menunggu beberapa menit, pasukan Darja pun turun. Didapati oleh mereka, truk itu hanya berisi tiga serdadu muda: dua sudah tewas seketika yang satu lagi masih hidup dan tengah mengerang-erang dengan perut berlumuran darah.

"Mami! Mami! Mami!" teriaknya.

Darja merasa kasihan dengan kondisi serdadu tersebut. Sekilas dia jadi ingat diri sendiri yang masih masih memiliki seorang ibu di kampung. Pasti dalam situasi yang sama, dia pun akan memanggil-manggil emaknya, pikir Darja.

Namun karena mereka tidak memiliki obat-obatan dan logistik yang cukup untuk memelihara seorang tawanan, terpaksa dengan menggunakan pistolnya, Darja menembak kepala sang serdadu itu hingga tamat riwayatnya.

"Kalau dipikir-pikir sekarang, saya sebenarnya tak bisa melakukan itu. Berhari-hari setelah kejadian tersebut saya diam-diam merasa 'menyesal', ya tapi itulah perang…" ujarnya dengan nada lirih.

Tentara Baret Hijau Belanda jadi Korban

Peristiwa yang hampir sama, juga pernah dialami oleh Mayor R. Achmad Nasuhi pada akhir tahun 1948. Ceritanya, suatu hari Nasuhi bersama lima anak buahnya harus menyeberangi 'jalan hideung'. Yakni jalan aspal antara Kawali-Cikijing di Kuningan. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara deru truk militer Belanda.

"Berhenti dulu! Ada makanan!" kata Nasuhi kepada anak buahnya.

Mereka lantas mengatur posisi untuk bertempur di sebuah tikungan tajam. Begitu truk masuk dalam sasaran tembak, Nasuhi langsung menembak diikuti oleh para prajuritnya. Pertempuran hanya berlangsung sekira lima menit dengan diakhiri terbaliknya truk tersebut.

Ketika diperiksa, ada empat orang penumpang: tiga serdadu bule dan satu lagi seorang serdadu pribumi. Mereka ada dalam kondisi terluka parah dan mengerang-erang kesakitan.

 

"Kami lalu merampas senjata mereka: dua senapan Lee Enfield dan sepucuk stengun, semua lengkap dengan peluru-peluru cadangannya," ungkap Nasuhi dalam buku Tahun-Tahun Emas Divisi Siliwangi, 1947-1949.

Setelah mengambil semua senjata, Nasuhi sempat bingung. Mau diapakan mereka? Dia sempat berpikir akan menjadikan serdadu-serdadu itu sebagai tawanan. Namun niat itu sirna ketika dia ingat bahwa pasukannya sangat minim obat-obatan dan tak memiliki alat-alat medis yang memadai.

"Saya melihat sekeliling, rakyat banyak mulai berdatangan. Mereka membawa senjata-senjata tajam," kenang komandan Batalyon Tengkorak Divisi Siliwangi itu.

Nasuhi merasa ngeri bercampur kasihan kepada serdadu-serdadu itu. Sudah pasti jika dia pergi begitu saja dengan membiarkan mereka hidup, pasti serdadu-serdadu itu akan disiksa lalu dihabisi secara sadis oleh kerumunan rakyat yang merasa dendam atas kekejaman pasukan Belanda terhadap kampung mereka.

"Terutama kepada tentara Belanda dari unit Baret Hijau yang terkenal kejam," ujar Nasuhi.

Tanpa pikir panjang lagi, Nasuhi lalu mengambil salah satu Lee Enfield hasil rampasan. Dengan senapan buatan Inggris itu, dia lalu menembaki satu persatu para serdadu yang tengah sekarat sekarat tersebut. Begitu selesai, Nasuhi dan anak buahnya meninggalkan tempat itu.

"Baru saja beberapa langkah, kami mendengar teriakan orang-orang yang tengah melepaskan dendam kesumat kepada jasad para serdadu itu," kenang Nasuhi.

Jenazah Dicincang

Singkat cerita, lima puluh tahun kemudian, Nasuhi berkesempatan mengikuti reuni antara eks anggota Divisi Siliwangi dan Divisi 7 Desember di Belanda. Dalam suatu acara ramah tamah antar mantan musuh itu, tiba-tiba seorang lelaki sebaya Nasuhi menghampirinya. Dia mengenalkan dirinya bernama Van Deerlan, bekas komandan kompi dari empat serdadu yang tewas di wilayah Kawali-Cikijing itu.

"Nasuhi, saya ingin memastikan: apakah ketika usai melakukan pencegatan itu, Anda benar-benar yakin bahwa keempat anak buah saya itu telah meninggal saat anda pergi dari tempat itu?" tanya Van Deerlan.

"Ya saya pastikan itu…" jawab Nasuhi.

"Saya perlu menanyakan itu kepada anda, karena saat dievakuasi, saya sendiri sebagai komandan mereka tak diizinkan melihat jasad mereka…" ujar Van Deerlan.

Rupanya sepeninggal Nasuhi, jasad para serdadu itu dicincang habis oleh massa rakyat hingga tak berbentuk lagi. Sedemikian mengerikan akibat penyincangan itu, hingga keluarga dan kawan-kawannya tak diizinkan oleh pihak medis untuk melihat mayat mereka.***