Ini Dia Sosok Komandan Lasjkar Tjiwaringin 33 yang Berseberangan dengan Margonda

Harun Kabir, pimpinan Lasjkar Tjiwaringin 33 Bogor. (Koleksi: Rendy Broto©2023 Merdeka.com)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Di tengah euforia revolusi, puluhan kelompok laskar terlibat dalam penyerangan ke Depok. Suatu kenyataan yang menurut Harun Kabir justru patut disesali, karena tidak sesuai semangat revolusi Indonesia yang seharusnya menghormati nilai-nilai kemanusiaan.

Sejak terjadinya rentetan aksi kekerasan terhadap orang-orang yang dianggap pro NICA (dalam sejarah Belanda disebut sebagai Masa Bersiap), situasi di Bogor menjadi tak menentu. Hampir di seluruh kota berdiri kamp-kamp konsentrasi yang menampung para tawanan.

Dikutip dari merdeka.com, penjara Paledang yang merupakan penjara terbesar di Bogor, mengalami kelebihan penghuni. Selain para narapidana, penjara itu juga dipenuhi para lelaki Eropa, Minahasa, Tionghoa, Maluku dan orang-orang yang dianggap berpihak kepada Belanda. Umumnya mayoritas berasal dari Bogor dan Depok.

Menurut informasi yang dilansir dari dokumen Kamp Comite 14e Bat Verslag van de Ongeregeldhelden en de Waderwaardigheden van de door de Indonesier Geinterneerde Europese Mannelijke Ingeztenen te Buitenzorg en Omgeving van begin October to 22 October 1945, 27 October 1945, penjara yang sejatinya memiliki kapasitas maksimum 300 orang itu, di hari-hari tersebut dijejali sampai 1.200 orang.

Tak Manusiawi di Penjara

Satu sel yang seharusnya hanya muat untuk enam orang, dipaksakan memuat 25 orang. Ruangan lain yang hanya muat untuk 47 orang, dipaksakan menjadi 140 orang.

Bagi mereka yang tidak kebagian sel, harus tinggal di luar dengan sedikit perlindungan dari panas dan hujan. Mereka tidur beralaskan tikar rombeng, sebagian lagi di atas tanah sambil berdesakan. Jendela sel ditutup papan, hanya tersisa pintu masuk sebagai ventilasi.

"Dalam 48 jam, mereka hanya diberi waktu keluar sel tiga menit untuk mandi," tulis dokumen tersebut.

Soal makanan, jangan ditanya kelayakannya. Selain gaplek (makanan yang terbuat dari adonan singkong) yang direbus buat sarapan, mereka hanya mendapatkan jatah makan siang berupa nasi (175-200 gram) plus labu siam rebus yang dipotong-potong tanpa dikupas kulitnya. Peralatan makan pun sama sekali tak pernah dicuci (mengingat air harus dihemat) dan makanan kerap dihinggapi lalat.

Menghadapi situasi penuh kekacauan itu, kalangan para pejuang di Bogor terbelah dalam dua sikap: yang setuju dan tidak setuju terhadap aksi-aksi penggedoran tersebut. Menurut Achmad Soekarna, Harun Kabir sang pemimpin Lasjkar Tjiwaringin 33 ada di kubu yang kedua.

Harun berpendapat jika revolusi Indonesia adalah sebuah revolusi yang bertujuan menegakan keadilan dan kemanusiaan. Adalah sangat disayangkan jika kemurnian revolusi Indonesia 'dikotori' oleh tindakan-tindakan sepihak yang pantasnya dilakukan oleh para penyamun dan kaum kriminal.

Tindakan-tindakan kejam tak berperikemanusian, kata Harun, hanya akan membenarkan pendapat Belanda dan Sekutu jika bangsa Indonesia memang belum layak merdeka.

"Saya ingat suatu hari di Ciwaringin, Pak Harun berpidato di hadapan kami: jika kita berjuang dan bertempur bukan untuk kepentingan bangsa saja, tapi juga demi kemanusiaan…" ungkap Karna, yang merupakan eks anggota Lasjkar Tjiwaringin 33.

Prinsip yang dianut Harun, tidak sebatas bibir semata. Demi menyelamatkan orang tua, anak-anak dan perempuan yang tak berdosa, dia rela menjadikan rumahnya di Jalan Ciwaringin sebagai penampungan mereka. Maka berduyun-duyunlah, orang-orang Eropa, Minahasa, Ambon dan kaum Indo datang meminta perlindungan kepada Harun.

"Ayah saya menerima dengan baik bahkan diberikannya kepada mereka makan dan minum. Saya ingat ada seorang jurnalis perempuan berkebangsaan Swis yang juga mengungsi ke rumah kami saat itu," kenang Hetty Kabir, putri kedua dari Harun Kabir

Beda dengan Margonda

Karena prinsip itu pula, Harun harus bersilang-pendapat dengan kawan-kawannya seperjuangan di Lasjkar Tjiwaringin 33. Salah satunya adalah Margonda yang memiliki pendapat radikal terkait keberadaan orang-orang Eropa dan Belanda di wilayah Bogor.

"Bung Margonda bersama beberapa anggota Lasjkar Tjiwaringin 33, akhirnya meninggalkan kami dan bergabung dengan AMRI (Angkatan Moeda Repoeblik Indonesia). Mereka ikut menyerang Depok," ungkap Karna.

Ketika terjadi Peristiwa Gedoran Depok, berduyun-duyunlah para jawara, para jagoan, anggota laskar dari Bekasi, Karawang, Tangerang dan Jakarta datang ke Depok. Mereka merasa terpanggil untuk memerangi orang-orang yang dianggap kaki tangan NICA. Hanya beberapa laskar yang tak mengirimkan pasukannya, termasuk LR33.

"Kalaupun ada orang-orang LR33 yang ikut berangkat ke Depok, itu tidak banyak dan di luar tanggung jawab komandan kami, Pak Harun Kabir," ucapnya.***