Jarang Terungkap Serdadu Muslim Inggris Berbalik Bela Indonesia, Selamatkan Bung Karno yang Dikepung Belanda

(Dok:©2023 koleksi:HendiJo)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Ribuan pemuda India muslim yang menjadi serdadu Inggris dikirim ke Indonesia untuk menjaga keamanan bekas jajahan Belanda itu dari para ekstrimis dan pengacau. Tak dinyana, orang-orang yang dihadapi oleh mereka ternyata saudara sesama muslim yang ingin merdeka.

    Medan, awal April 1946. Perasaan Letnan Abu Nawaz tiba-tiba menjadi lemas. Dia tak menyangka, sarang musuh yang diperintahkan Letnan Kolonel untuk dihancurkan adalah sebuah masjid, tempat ibadah umat Islam yang merupakan agama yang dianutnya. Alih-alih melaksanakan perintah atasannya itu, Abu Nawaz memilih balik badan. Dia lalu memerintahkan satu regu prajurit muslim yang dipimpinnya untuk melakukan desersi.

    Kejadian di Medan itu, tu;is merdeka.com,  ternyata terjadi juga di Jakarta. Suatu hari di tahun yang sama, sebuah patroli tentara British India Army (BIA) pimpinan seorang serdadu bernama Ghulam Ali memasuki sebuah rumah kosong yang ternyata adalah sebuah musala. Saat menggeledah isi rumah kecil itu, mereka menemukan tulisan basmallah dan sebuah kitab Alquran.

  "Hati kami menjadi haru dan muncul keinginan untuk membantu orang-orang Indonesia," kenang pensiunan Polri itu seperti ditulis dalam Buletin Badan Kontak Purnawirawan/Warakawuri-Polri Mabes edisi Agustus 1986.

Berbalik Bela Indonesia

     Berbagai pengalaman itu menjadikan para prajurit BIA cepat sadar jika mereka tengah 'diadudomba' dengan sesama saudara muslim. Muncul-lah insiatif di kalangan mereka untuk mencari sendiri pemuka agama atau tokoh Islam yang bisa memberikan penjelasan lebih mendalam terkait perjuangan orang-orang Indonesia.

    Di Batavia (Jakarta), para prajurit BIA yang beragama Islam menemukan seorang pemuka Islam berkebangsaan India yang bisa dipercaya oleh mereka. Namanya N.M. Sher, seorang tabib yang tinggal di Jalan Senen Raya. Setiap akhir pekan, rumah sang tabib biasanya dipenuhi oleh tentara Inggris muslim.

  Selain dapat menikmati makan dan minum khas negeri mereka, di rumah Tabib Sher orang-orang Hindustan itu pun bisa mendapatkan informasi terpercaya mengenai perjuangan orang-orang Indonesia. Terutama mengenai Sukarno-Hatta, dua pemimpin gerakan pembebasan Indonesia.

    Berkat informasi dari Tabib Sher banyak prajurit BIA muslim yang kemudian jatuh simpati terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia. Mereka merasa senasib-sepenanggungan dengan orang-orang Indonesia dan marah kepada Belanda yang memiliki niat menjajah kembali Indonesia.

  "(Para prajurit Inggris itu pada akhirnya) sering menyerahkan senjata, granat, peluru kepada saya untuk diteruskan kepada para pejuang kemerdekaan Indonesia di pedalaman," ungkap Sher dalam otobiografi dokter R.Soeharto, Saksi Sejarah:Mengikuti Perjuangan Dwitunggal.

Selamatkan Bung Karno yang Dikepung

    Suatu hari Tabib Sher diberitahu jika Presiden Sukarno tengah dikepung oleh serdadu-serdadu Belanda di depan rumah Soeharto. Dia sama sekali tak bisa keluar dari mobil karena para serdadu itu mengancam akan membunuhnya. Soeharto sendiri sebagai tuan rumah tak bisa berbuat apa-apa.

  Demi mendengar kabar tersebut, Sher lantas memberitahu kepada prajurit-prajurit BIA yang tengah berkumpul di rumahnya saat itu. Tanpa banyak pertimbangan, berangkatlah mereka ke Jalan Kramat Raya, tempat rumah Soeharto berada. Begitu tiba, salah seorang prajurit BIA itu berteriak agar serdadu-serdadu Belanda tersebut menghentikan aksinya.

 Alih-alih patuh, serdadu-serdadu itu malah semakin beringas dan menyatakan bahwa mereka tak akan melepaskan musuh besarnya yang sudah terjebak di depan mata. Penolakan itu direspons dengan keras oleh para prajurit BIA. Tanpa diperintah, mereka kemudian membentuk posisi stelling, siap bertempur dengan kelompok tentara Belanda itu.

     Melihat keseriusan tentara Inggris tersebut, serdadu-serdadu Belanda pun akhirnya keder. Mereka pun mundur sambil mengucapkan sumpah serapah. Saat mereka melakukan gerakan mundur itulah, Soeharto kemudian datang menjemput Bung Karno dan membawanya cepat ke rumahnya. Maka selamatlah Presiden RI dari teror tentara Belanda.

    Dari waktu ke waktu, rasa solidaritas sebagai sesama muslim semakin menguat di kalangan prajurit BIA beragama Islam. Mereka malah bertambah nekad ketika pada 15 November 1945 melakukan pembangkangan massif saat diperintahkan bertempur di front Surabaya. Akibatnya, sekitar 600 prajurit muslim ditahan.

    "Mereka lantas dikirim ke penjara militer di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu," tulis Muhammad Rivai dalam Merdeka atau Mati.***