Tokoh PKI Tak Mempan Ditembak, Apa yang Dilakukan Tentara? Begini Kisahnya

Madiun 1948. (Dok:©2017 Merdeka.com)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Presiden Sukarno dan Wapres Mohammad Hatta bersikap tegas menghadapi pemberontakan Madiun 1948. Pemerintah Republik Indonesia mengerahkan kekuatan TNI untuk menumpas kekuatan Kiri dan Musso Cs.

    Para kadet Akademi Militer Yogyakarta ikut dikerahkan. Dibanding pasukan yang lain, persenjataan mereka terbilang cukup lengkap. Pada waktu itu, lengkap berarti satu senjata dipegang oleh satu orang.

     Pasukan merah memilih mundur dari Madiun. Mereka menuju Gunung Wilis untuk melakukan peperangan gerilya. Pasukan TNI berusaha mengejar dan merebut satu per satu daerah yang dikuasai pemberontak.

     Perlawanan tentara merah cukup gencar. Dikutip dari merdeka.com, para kadet tersebut harus kehilangan beberapa rekan mereka dalam pertempuran. Di antaranya kadet Hardosumeru dan Anto Sugiarto dalam baku tembak di Pracimantoro.

       Pemilu Pertama Tahun 1955: Membongkar Strategi Kebangkitan PKI dari Liang Kubur

Lurah PKI

      Dari Pracimantoro, pasukan akademi militer itu bergerak merebut Pacitan dibantu Pasukan Siliwangi. Di sebuah daerah bernama Punung, mereka membebaskan tokoh masyarakat yang ditahan oleh tentara merah.

    Di sini mereka mendapat pengaduan dari masyarakat. Ada seorang lurah yang selama tentara merah berkuasa berlaku sewenang-wenang. Masyarakat menuntut agar lurah ini ditangkap dan dihukum mati.

    Demikian ditulis dalam buku Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Fisik 1945-1949 yang ditulis Drs Moehkardi.

     Kadet Suhardiman sebagai komandan pasukan mengutus satu regu pasukan untuk menangkap lurah ini. Lalu vonis apa yang akan dijatuhkan?

     Tim pemeriksa melakukan pemeriksaan singkat. Keputusan yang diambil lewat sidang kilat, lurah anggota PKI ini dihukum mati. Hal ini lazim terjadi selama pertempuran menumpas gerombolan Musso.

Jimat di Celana

    Lurah pendukung pemberontak tersebut dikenal sebagai jagoan. Dia dikenal sakti dan kejam. Saat menghadapi regu tembak dia pun tak gentar.

    "Dor..Dor.." senapan menyalak. Namun Sang Lurah tak roboh ke tanah. Rupanya dia kebal peluru.

    Darah yang mengalir dari tubuhnya dengan tenang dia 'hirup' kembali. Suhardiman mengingat tak ada tanda-tanda orang tersebut merasa kesakitan terkena tembakan.

     Hal ini terjadi berulang-ulang. Suhardiman kebingungan menghadapi jagoan di depannya. Saat itulah seorang penduduk yang sudah sepuh mendekat dan berbisik pada Suhardiman.

  "Jimatnya ada di celana, Pak."

 

Benar saja, saat celana lurah itu dibuka. Dia langsung lemas, lantas meninggal.

Peluru Diusap ke Tanah

    Kasus tokoh PKI yang kebal peluru ini bukan satu-satunya. Komandan Batalyon Kala Hitam, Mayor Kemal Idris pun mengalami hal serupa.

     Dalam sidang kilat di Alun-Alun Pati, ada empat gembong PKI yang mendapat vonis hukuman mati. Ternyata, ada seorang tahanan yang kebal peluru.

    "Berkali-kali peluru diganti. Senjata otomatis juga digunakan. Tapi tak ada yang mampu merobek kulitnya," kata Kemal Idris dalam biografinya Bertarung Dalam Revolusi.

     Di tengah kebingungan itu Letnan Ahmad maju. Dia mengeluarkan sebutir peluru dari magasin pistolnya dan diusap-usapkan ke tanah.

    Peluru itu kemudian dipakai menembak tahanan tersebut. Berhasil, dia roboh di tanah dengan dada berlubang.

     Kemal saat itu didampingi perwira peninjau dari Australia yang tergabung dalam Komisi Tiga Negara (KTN). Betapa herannya orang asing itu melihat pemandangan di depannya.***