Heboh Meme Puan Berbadan Tikus Ketika Istana Sebut BEM UI seperti LSM: Begini Tanggapan PDI dan PKS

BEM UI merilis meme animasi Ketua DPR Puan Maharani berbadan tikus karena telah menyetujui Perppu Cipta Kerja (dok:https:sultra.tribunnews.com)

JAKARTA (SURYA24.COM)- Akhir pekana ini publik di tanah air dihebohkan dengan  meme Puan Maharani berbadan tikus yang diunggah dalam akun Twitter Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia atau BEM UI menggegerkan jagat maya. Meme yang diunggah sebagai bentuk protes disahkannya Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR disebut pihak istana dimanfaatkan oleh banyak kepentingan.

"Narasinya mirip kayak LSM yang didanai asing, juga kelompok antipemerintah yang dari awal asal bukan Jokowi. Biar laku dagangannya di 2024 nanti," kata Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Bidang Komunikasi dan Media Faldo Maldini di Jakarta, Kamis (23/3)

Faldo menyebut BEM UI memang diisi mahasiswa yang pintar dengan pikiran yang suka berbeda. Ia mempersilahkan semua pihak menilai kritikan dari BEM UI, sebab Perpu Cipta Kerja nyatanya sudah diselenggarakan sesuai dengan prinsip dan prosedur.

"Di sisi lain, mereka juga kadang naif," kata Faldo yang juga mantan Ketua BEM UI ini.

Faldo lantas mengklaim partisipasi bermakna dalam Perpu Cipta Kerja sudah dilakukan. Satgas Cipta Kerja, kata dia, setiap hari membuat kegiatan di semua daerah.

 

"Kalau anda yang tidak pernah ikut, maka partisipasinya jadi tidak bermakna? Kalau emang peduli, ya datang dari kemaren-kemaren. Tapi kalau cuma teriak begini ya silakan aja, apalagi kalau cuma itu kemampuan terbaik anda," kata politikus PSI ini.

Menanggapi pernyataan Faldo Maldini itu, Ketua BEM UI Melki Sedek Huang menantang Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Faldo Maldini membuktikan soal tudingan pendanaan asing dalam kampanye penolakan UU Cipta Kerja yang dilakukan BEM UI. Ucapan itu Faldo sampaikan atas kritik terhadap meme Ketua DPR RI Puan Maharani. 

"Jika dikatakan didanai asing dan disusupi kepentingan elit politik manapun, jelas kami tegaskan tidak dan silakan dibuktikan karena kami juga siap membuktikan semua," kata Melki saat dihubungi Tempo, Kamis (23/3).

Soal tudingan BEM UI disetir oleh pihak tertentu sehingga mengeluarkan kritik seaman itu, Melki mengatakan organisasinya memang disetir kepentingan rakyat Indonesia. Menurut Melki, selama ini kepentingan masyarakat mampu diwakilkan oleh pejabat yang duduk di Senayan.

"Kami pun tak menemukan sedikitpun bukti partisipatifnya Perpu Ciptaker. Perpu Ciptaker adalah produk hukum inkonstitusional bikinan Presiden sendiri yang nihil partisipasi masyarakat dalamnya dan menurut konstitusi," kata Melki. 

Umpatan yang Kurang Terdidik 

Disisi lain pPolitikus senior PDIP Hendrawan Supratikno menyayangkan kritik yang disampaikan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) terhadap Ketua DPR Puan Maharan i dengan meme berbadan tikus. "Selama ini kritik dan masukan dari kampus, sangat diperhatikan. Kunjungan kerja Alat Kelengkapan Dewan (AKD), termasuk Badan Legislasi, sering ke kampus-kampus. Kami selalu berharap kampus memberi masukan secara lengkap dan mendalam," ujar Hendrawan Supratikno, Kamis (23/3/2023). 

Ia menilai satir meme yang dibuat oleh BEM UI terhadap institusi DPR tidak patut. "Rasanya kurang patut apabila mahasiswa menyampaikan umpatan-umpatan yang kurang terdidik, asal bunyi, merendahkan akal budi. Ajak wakil-wakil rakyat berdiskusi, berdebat, secara terbuka dan mendasar," kata Hendrawan seperti dilansir sindonews.com.

Hendrawan menghimbau mahasiswa BEM UI untuk melakukan kritik dengan mengedepankan kode etik akademik. Menurutnya, itulah esensi peran dan kontribusi insan kampus dalam membangun peradaban bangsa. 

"Bukan melakukan umpatan-umpatan yang dangkal dan spekulatif. Dalam bahasa Jawa ada istilah waton suloyo, asal-asalan, yang penting beda dan menarik perhatian," pungkas Hendrawan Supratikno.

Turuti Perintah MK

 Sebagaimana diketahui sebelumnya, video meme yang diunggah BEM UI di media sosial Tiktok viral di media sosial. Dalam video tersebut tampak Ketua DPR Puan Maharani, gedung kura-kura DPR, dan sejumlah tikus berdasi.

 DPR yang pada umumnya dimaknai sebagai singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat dalam meme tersebut dipelesetkan menjadi Dewan Perampok Rakyat. Ketua BEM UI Melki Sedek Huang mengatakan pihaknya membuat meme tersebut sebagai puncak amarah mahasiswa UI kepada sikap apatis DPR hari-hari ini terhadap aspirasi rakyat.

 "Saya rasa keseluruhan publikasi kami tersebut sudah menggambarkan kemarahan kami terhadap DPR hari ini," ujar Melki Sedek. 

Ia melihat DPR sudah tidak pantas lagi menyandang nama Dewan Perwakilan Rakyat dan lebih pantas diganti namanya menjadi Dewan Perampok, Penindas, ataupun Pengkhianat Rakyat. 

"Sebab produk hukum inkonstitusional yang mereka sahkan kemarin jelas merampas hak-hak masyarakat, mengkhianati konstitusi, dan tak sesuai dengan isi hati rakyat," tegas Melki Sedek.

 DPR, kata dia, harusnya menuruti putusan MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dengan partisipasi bermakna, bukannya malah turut mengamini tindakan inkonstitusional Presiden Jokowi dengan mengesahkan Perppu Cipta Kerja yang menyalahi konstitusi.

 "Melalui publikasi tersebut kami ingin sampaikan pada masyarakat untuk jangan berharap dan percaya banyak pada DPR saat ini karena bagi kami DPR tak lebih dari perampas hak masyarakat dan pelanggar konstitusi," pungkas Melki Sedek.

 Sebelumnya Aliansi BEM se-UI pada 22 Maret 2023 mengecam Pengesahan RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja. Berikut isi kecaman dan tuntutan dari Aliansi BEM se-UI. Pada 30 Desember 2022, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja).

Kemudian, pada 21 Maret 2023, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja telah resmi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). 

Dengan disahkannya RUU tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja, Perppu Cipta Kerja akan segera diundangkan dan mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan tersebut, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat atas beberapa pertimbangan, antara lain pembentukan UU Cipta Kerja tidak mengikuti cara, metode, dan standar yang jelas; adanya perubahan pada beberapa substansi setelah persetujuan bersama; dan bertentangan dengan prinsip partisipasi publik yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian memberikan kesempatan kepada para pembuat undang-undang untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam kurun waktu 2 (dua) tahun, terhitung sejak 25 November 2021, atau UU Cipta Kerja akan dinyatakan inkonstitusional permanen.

Dikutip dari sindonews.com,  Tak hanya cacat secara formil, UU Cipta Kerja juga bermasalah dari aspek Sinergi Gelorakan Aksi materiil, dimana terdapat sejumlah pasal yang mengancam dan merampas hak-hak para pekerja, salah satunya Pasal 81 angka 29 UU Cipta Kerja yang menghapus kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja juga telah mempermudah perusahaan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak sehingga kian merentankan posisi para pekerja.

 Belum lagi hadirnya pasal-pasal yang membahayakan lingkungan hidup, seperti Pasal 36 angka 2 UU Cipta Kerja yang mengubah dan menghapus aturan besaran kawasan hutan yang harus dipertahankan dari suatu wilayah serta Pasal 37 angka 20 UU Cipta Kerja yang melanggengkan pengusaha yang berkegiatan di dalam kawasan hutan tanpa ada sanksi pidana yang dijatuhkan. Selain itu, terdapat pula Pasal 22 angka 4 UU Cipta Kerja terkait ketentuan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang tidak mengikutsertakan kepentingan masyarakat lain dan memangkas partisipasi masyarakat adat.

 Masalah-masalah ini hanyalah segelintir dari sekian banyak ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang menempatkan pekerja sebagai objek eksploitasi, menghiraukan aspek lingkungan hidup, dan mendiskreditkan partisipasi masyarakat adat. Meskipun pemerintah berdalih bahwa UU Cipta Kerja dibuat untuk kepentingan investasi, tetapi ketentuan-ketentuan dalam UU Cipta hanya menguntungkan para oligarki dan mengabaikan hak-hak pekerja, lingkungan hidup, serta masyarakat adat. 

Perppu Cipta Kerja sejatinya hanyalah salinan dengan minimnya perubahan dari UU Cipta Kerja yang bermasalah, baik secara formil maupun materiil. Penerbitan Perppu Cipta Kerja juga terbukti tidak memenuhi ihwal kegentingan memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan dipersyaratkan lebih lanjut oleh PMK Nomor 138/PUU-VII/2009.

 Dengan demikian, pengesahan RUU tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi pertanda bahwa negara memiliki ragam cara untuk mengelabui konstitusi. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan berkekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dilanggar begitu saja oleh Pemerintah dan DPR RI.

Terlebih, DPR RI sebagai wakil rakyat pun acuh tak acuh terhadap gelombang penolakan dari segenap elemen masyarakat sipil yang yang menggema sejak diterbitkannya Perppu Cipta Kerja.

Beranjak dari hal tersebut, sebagai negara yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi, penerbitan Perppu Cipta Kerja dan pengesahan RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja telah menciptakan preseden buruk sekaligus catatan kelam dalam proses legislasi di Indonesia.

Maka dari itu, Aliansi BEM se-UI menyatakan sikap sebagai berikut: 

1. Mengecam Presiden dan DPR RI yang telah mengkhianati UUD NRI Tahun 1945 melalui Pengesahan RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja; 

2. Menolak pemberlakuan Undang-Undang tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja; 

3. Mendesak Presiden dan DPR RI untuk melakukan segala upaya dalam rangka membatalkan pemberlakuan Undang-Undang tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja; serta

 4. Mengajak seluruh elemen masyarakat sipil untuk bersama-sama menyuarakan perlawanan terhadap pengesahan RUU tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja.

Perlu Didengar Penguasa

Sementara itu Juru Bicara (Jubir) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Kholid menyebutkan bahwa suara kritis BEM Universitas Indonesia (UI) yang mengkritik Puan Maharani berbadan tikus harus didengar oleh penguasa.

"BEM UI memiliki reputasi sebagai suara kritis yang perlu didengar oleh penguasa. Terkait cara menyampaikan itu hal teknis saja, bisa demo di jalan bisa juga buat meme di tiktok atau medsos," ujar Kholid saat dikonfirmasi, seperti dilansir tribunnews.comJumat (24/3/2023).

Kholid menuturkan bahwa suara kritis mahasiswa itu merupakan ekspresi demokrasi yang harus diberikan ruang kebebasan.

"Apalagi BEM UI memiliki sejarah panjang dalam mengawal jalannya roda pemerintahan dari ragam era dan kepemimpinan," jelasnya.

Di sisi lain, Kholid menambahkan bahwa pihaknya juga senada dengan BEM UI untuk menolak UU Cipta Kerja.

"Sikap PKS menolak UU Cipta Kerja dan Perppu Cipta Kerja. Secara substansial kami sama dengan BEM UI yakni menolak. PKS berjuang suarakan penolakan itu di parlemen," pungkasnya.

Sebelumnya, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) mengunggah meme kiritikan terhadap Ketua DPR RI Puan Maharani.

Dalam unggahan tersebut, Ketua DPP PDIP itu tampak berbadan tikus sembari tersenyum.

Meme foto Puan tersebut berlatar belakang Gedung Kura-kura DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat.

Meme itu merupakan bentuk protes dari BEM UI terhadap pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) menjadi undang-undang (UU).

"Kami tidak butuh dewan perampok rakyat," tulis BEM UI di laman resmi TikTok mereka, dilihat pada Kamis (23/3/2023).

Ketua BEM UI Melki Sedek Huang mengatakan unggahan tersebut merupakan bentuk kemarahan pihaknya terhadap DPR RI saat ini.

"Kami rasa DPR sudah tidak pantas lagi menyandang nama Dewan Perwakilan Rakyat dan lebih pantas diganti namanya menjadi dewan perampok, penindas, ataupun pengkhianat rakyat," kata Melki kepada wartawan, Kamis (23/3/2023).

Melki menjelaskan unggahan tersebut bermaksud agar masyarakat tak percaya kepada DPR RI periode ini.

"Melalui publikasi tersebut kami ingin sampaikan pada masyarakat untuk jangan berharap dan percaya banyak pada DPR saat ini karena bagi kami DPR tak lebih dari perampas hak masyarakat dan pelanggar konstitusi," imbuhnya.

Adapun Perppu Ciptaker telah disahkan menjadi undang-undang pada Sidang Paripurna IV yang digelar di Gedung Parlemen, Senayan pada Selasa (21/3/2023).

Hal ini disampaikan oleh Ketua DPR RI sekaligus ketua sidang paripurna, Puan Maharani.

"Apakah rancangan undang-undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang untuk disahkan menjadi undang-undang?" tanya Puan dikutip dari TV Parlemen.

"Setuju!" jawab peserta sidang paripurna.

Kemudian, Puan pun mengetuk palu sebanyak tiga kali.

Tak cukup sekali, Puan pun kembali bertanya kepada peserta sidang terkait kesetujuan pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang.

Peserta pun kembali menyatakan setuju agar Perppu Cipta Kerja dijadikan undang-undang.

Sebelum disahkan, anggota DPR dari Fraksi Demokrat dan PKS menolak disahkannya Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang.***