Penasaran Mengapa Perwira TNI Ini Tolak Dijadikan Jenderal oleh Soekarno? Ini Alasannya

Ilustrasi (Dok:Net)

JAKARTA (SURYA24.COM)-Bambang Widjanarko merupakan salah satu ajudan terdekat dari Presiden pertama Indonesia, yaitu Soekarno. Ia menjabat sebagai sekretaris pribadi Soekarno dan berperan penting dalam membantu Soekarno membentuk politik Indonesia pada masa kepemimpinannya. Widjanarko merupakan kepercayaan Soekarno, dan kontribusinya dalam politik Indonesia telah meninggalkan dampak yang abadi dalam sejarah negara.

Kehidupan Awal dan Pendidikan

Bambang Widjanarko lahir di Magelang, Jawa Tengah, pada 12 Desember 1924. Ia berasal dari keluarga sederhana dan tumbuh di daerah pedesaan. Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah setempat, Widjanarko pindah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Batavia. Di Jakarta, ia terlibat dalam gerakan kemerdekaan Indonesia dan bergabung dengan sayap pemuda Partai Nasional Indonesia (PNI).

Pada tahun 1945, Widjanarko turut serta dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia bergabung dengan tentara Indonesia dan dikirim ke Yogyakarta untuk berlatih sebagai perwira. Namun, karir militernya tidak berlangsung lama, karena ia segera direkrut oleh Soekarno untuk menjadi sekretaris pribadinya.

Pelayanan pada Presiden Soekarno

Widjanarko menjabat sebagai sekretaris pribadi Soekarno dari tahun 1948 hingga penggulingan Soekarno pada tahun 1967. Selama masa itu, ia bertanggung jawab untuk mengatur jadwal harian Soekarno, menulis pidato, dan menangani korespondensi. Widjanarko juga hadir dalam banyak pertemuan Soekarno dengan pemimpin asing dan memainkan peran penting dalam membantu Soekarno membentuk kebijakan luar negeri Indonesia.

Selain sebagai sekretaris pribadi, Widjanarko juga menjabat sebagai anggota kabinet Soekarno. Ia menjabat berbagai posisi, termasuk sebagai Menteri Informasi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri. Sebagai Menteri Informasi, Widjanarko mengawasi pendirian agensi berita milik negara, Antara.

Widjanarko juga terlibat dalam pembentukan Gerakan Non-Blok, kelompok negara-negara yang berusaha untuk tetap netral selama Perang Dingin. Soekarno adalah salah satu pendiri gerakan tersebut, dan Widjanarko memainkan peran penting dalam mengorganisir pertemuan pertama di Belgrade pada tahun 1961.

Kehidupan Selanjutnya

Setelah peralihan kekuasaan Soekarno  ke Soeharto pada  tahun 1967, Widjanarko ditangkap oleh pemerintah baru dan menghabiskan beberapa tahun di penjara. Setelah dibebaskan, ia tetap aktif dalam politik Indonesia, menmenjadi anggota Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 1971.

Widjanarko juga menulis beberapa buku tentang kehidupannya dan masa-masa di lingkaran Soekarno, termasuk "Meniti Karir di Lingkaran Soekarno" dan "Kisah Hidup Bambang Widjanarko, Ajudan Soekarno". Buku-buku tersebut memberikan wawasan yang unik tentang kehidupan pribadi dan politik Indonesia pada masa-masa tersebut.

Bambang Widjanarko meninggal dunia pada tanggal 23 November 2008 di Jakarta pada usia 84 tahun. Warisannya dalam politik Indonesia dan persahabatan dengan Soekarno tetap dikenang oleh banyak orang di Indonesia. Widjanarko merupakan contoh nyata dari bagaimana satu individu dapat memberikan kontribusi besar dalam sejarah negara melalui dedikasi dan kerja kerasnya.

Menolak Dijadikan Jrenderal

Sementara itu dikutip dari merdeka.com,  Bambang Widjanarko menjadi ajudan Presiden Sukarno dari tahun 1960-1967. Perwira KKO (Kini Marinir) TNI AL ini sempat ditawari menjadi jenderal oleh Bung Karno. Namun Bambang menolak. Apa alasannya?

Sebagai perwira menengah, Bambang tentu ingin mengikuti Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut. Hal ini merupakan syarat untuk peningkatan karirnya di masa depan.

Bambang mendaftar masuk Sesko tahun 1963 dan dinyatakan diterima. Ketika akan mengikuti pendidikan, dia melapor pada Bung Karno untuk meninggalkan tugasnya sebagai ajudan.

"Bung Karno terkejut dan menyatakan ketidaksetujuannya," tulis Bambang Widjanarko dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno terbitan Kepustakaan Populer Gramedia.

Tak hanya itu, ketika bertemu Kepala Staf TNI AL. Bung Karno pun meminta agar pencalonan Bambang Widjanarko masuk Sesko dibatalkan. Tentu saja Kasal menuruti permintaan presiden. Masa tugas Bambang sebagai ajudan pun diperpanjang satu tahun.

Siapa Panglima Tertinggi?

Tahun berikutnya, Bambang mencoba mengajukan izin untuk ikut Sesko. Surat keputusan diterima di Sesko sudah dipegangnya. Namun lagi-lagi Bambang tidak diperbolehkan masuk Sesko oleh Bung Karno.

Januari 1965, kembali Bambang meminta izin Presiden. Pada permintaan ketiga ini Bung Karno agak kesal. Dipanggilnya Kasal Laksamana Martadinata dan Komandan KKO AL Mayjen Hartono ke Istana.

"Marta, dan kamu Hartono, siapa di antara kamu berdua yang jadi panglima tertinggi?" tanya Bung Karno pada dua pejabat itu.

"Pangti Angkatan Bersenjata Republik Indonesia adalah Bapak," jawab mereka.

 

"Nah dengarkan, saya sebagai Pangti memerintahkan kalian agar jangan mengeluarkan keputusan Bambang masuk Sesko atau meninggalkan istana," tegas Bung Karno.

Menurut BK, Bambang adalah perwira yang baik. Presiden senang dengan pribadinya dan masih dibutuhkan. Hanya Bung Karno yang berhak memutuskan kapan Bambang berhenti sebagai ajudan.

"Siap Pak," jawab kedua pimpinan TNI AL tersebut.

Mau Diangkat Jadi Jenderal Agustus

Setelah mengantar Laksamana Martadinata dan Mayjen Hartono, Bung Karno bertanya pada  Kolonel Bambang. Kenapa dia sangat ingin masuk Sesko?

Bambang menjawab dengan jujur dan sopan. Sebagai prajurit, dirinya memikirkan karirnya di masa depan. Dia ingin menjadi jenderal atau perwira tinggi di kemudian hari. 

"Peraturan menyebutkan untuk menjadi jenderal harus masuk Sesko terlebih dahulu. Itu sebabnya saya ingin masuk Sesko," jawab Bambang.

"Siapa bilang hanya lulusan Sesko yang bisa jadi jenderal? Yang mengangkat orang menjadi jenderal adalah saya, Pangti ABRI. Nanti bulan Agustus saya naikkan pangkatmu jadi Brigjen," balas Bung Karno.

Alasan Menolak Jadi Jenderal

Kolonel Bambang terkejut mendengar ucapan presiden. Dia langsung berdiri dengan sikap sempurna. Meminta presiden membatalkan rencana pengangkatannya sebagai jenderal bintang satu.

"Pak, saya mohon dengan sangat. Sudilah Bapak membatalkan niat itu. Saya keberatan menjadi jenderal Bulan Agustus nanti," kata Bambang.

 

Bung Karno terkejut dengan perkataan Bambang. "Kenapa kamu menolak jadi jenderal?"

Bambang menjelaskan dia ingin menjadi jenderal sesuai dengan prosedur yang berlaku dalam militer Indonesia. Dimulai dengan menjalani pendidikan di Sekolah Staf dan Komando, lalu diusulkan oleh atasannya di Angkatan Laut. 

Bambang menolak menerima begitu saja pangkat jenderal dari presiden, tanpa prosedur yang berlaku. Itu justru akan membuatnya dicemooh oleh sesama perwira dan merusak sistem yang berlaku.

"Itu akan merusak l’esprit de corps. Saya tidak mau," tegas Bambang

Tetap Mendampingi Bung Karno

Mendengar penjelasan Bambang yang detil dan lugas, Bung Karno luluh. Dia membatalkan rencana pengangkatan ajudannya menjadi jenderal. Namun Bung Karno memintanya tetap tinggal di Istana sebagai ajudan.  Bambang pun melaksanakan permintaan BK tersebut.

Setelah G30S PKI meletus pada 30 September 1965, peta politik Indonesia berubah. Kekuasaan Presiden Sukarno sedikit demi sedikit mulai beralih kepada Mayor Jenderal Soeharto.

Di akhir kekuasaan Presiden Sukarno inilah Bambang mendapat tawaran mengikuti pendidikan di Sesko. Sekitar tahun 1966-1967. Namun justru kali ini Bambang yang menolaknya. Dia meminta agar diberi tugas untuk mendampingi Bung Karno di saat-saat sulit.

Permintaan itu diluluskan oleh pimpinan TNI AL. Mereka berpesan agar Bambang menjaga Bung Karno sebaik-baiknya.

Kesempatan Bambang untuk benar-benar masuk Sesko tercapai pada tahun 1968. Saat itu Bung Karno sudah digantikan oleh Presiden Suharto.

 

Dia mengikuti pendidikan di Seskoad Bandung. Bambang sadar betul karirnya sudah sangat tertinggal setelah empat tahun batal masuk Seskoal. Namun dia mengaku tidak pernah menyesal dengan keputusannya. Bambang pensiun dengan pangkat kolonel.

"Yang penting saya merasa telah berusaha menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya," tutup Bambang.***