Siapa Sangka Jenderal Soedirman Ternyata Hobi Pelihara Sepasang Ular Besar Hi Ngeri

Ilustrasi (Dok:Net)

JAKARTA (SURYA24.COM)-Jenderal Sudirman, yang nama aslinya adalah Sudirman, adalah salah satu tokoh paling terkenal dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia lahir pada tanggal 24 Januari 1916 di Bodas Karangjati, Rembang, Jawa Tengah. Kehidupan Sudirman penuh dengan perjuangan, keberanian, dan dedikasi yang tinggi dalam memimpin pasukan Indonesia melawan penjajah Belanda.

Sejak usia dini, Sudirman telah menunjukkan kepemimpinan dan semangat yang kuat untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Pada tahun 1936, ia bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air), organisasi militer yang didirikan oleh Jepang. Di PETA, Sudirman belajar tentang taktik militer dan memperoleh pengalaman yang akan menjadi dasar bagi kepemimpinannya di masa depan.

Setelah Jepang menyerah pada akhir Perang Dunia II, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945. Pada saat itu, Sudirman telah menjadi komandan dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang kemudian berkembang menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ia secara efektif memimpin perlawanan melawan pasukan Belanda yang berusaha merebut kembali kekuasaan atas Indonesia.

Salah satu momen paling menentukan dalam kehidupan Jenderal Sudirman adalah saat ia menderita tuberkulosis paru-paru pada tahun 1948. Meskipun dalam kondisi kesehatan yang lemah, Sudirman tetap melanjutkan perjuangannya. Ia bahkan terpaksa berpindah-pindah tempat untuk menghindari pengejaran pasukan Belanda. Selama masa perjuangannya melawan Belanda, Sudirman terkenal dengan pendekatan perang gerilya yang efektif, memanfaatkan medan yang sulit dan memanfaatkan dukungan dari rakyat untuk menghadapi pasukan yang lebih besar dan lebih baik persenjataan.

Pada tanggal 12 Januari 1949, Sudirman ditunjuk sebagai Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia (Panglima TNI). Ia menjadi simbol perlawanan dan semangat juang rakyat Indonesia dalam melawan penjajah. Pemimpinannya yang tegas dan karismatik membawa semangat dan persatuan bagi seluruh pasukan perjuangan.

Setelah perjuangan panjang melawan penjajah Belanda, pada tahun 1949, Indonesia berhasil meraih kemerdekaan yang diakui secara internasional. Namun, kehidupan Sudirman tidak berlangsung lama setelah itu. Ia meninggal dunia pada tanggal 29 Januari 1950 karena komplikasi tuberkulosis yang dideritanya sejak lama. Kematian Jenderal Sudirman merupakan kehilangan besar bagi bangsa Indonesia, namun warisannya tetap hidup dalam semangat perjuangan dan kecintaan terhad

Berkeliaran di Halaman

Tak banyak yang tahu, ternyata Panglima Besar Jenderal Soedirman hobi memelihara sepasang ular sanca atau piton besar di rumahnya. Ular-ular itu dibiarkan saja bebas berkeliaran di halaman.

"Setiap hari dilepas demikian saja di halaman dan sesekali mengelilingi gedung tempat kediaman Panglima Besar," ujar Mayjen Pranoto Reksosamodra seperti dilansir merdeka.com.

Untuk merawat ular-ular itu, ada petugas khusus yang menjadi pawang ular. Namanya Kopral Karman. Kebolehannya memanggil dan menjinakkan ular memang sudah diakui di kalangan prajurit TNI.

Hal itu diceritakan Pranoto dalam biografinya Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra, dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya. Buku ini ditulis Imelda Bachtiar dan diterbitkan Penerbit Kompas tahun 2014.

Tahun 1947, Pranoto diangkat menjadi Komandan Resimen XXI/Divisi IX/Diponegoro. Salah satu batalion di bawahnya, ditugaskan mempertahankan pesisir pantai di Kaliori, Rembang dan Lasem saat agresi militer Belanda.

Syarat Panggil Ular

Dalam batalion itu, rupanya Kopral Karman ikut bergerilya. Banyak prajurit yang penasaran dengan kemampuan tamtama itu memanggil ular. Ada yang percaya, ada yang tidak. Hal ini pun sampai ke telinga Pranoto.

"Benarkah kamu pandai memanggil ular di sekitar markas kita ini?' tanya Pranoto pada Karman.

"Coba-coba saja Pak, asal saya dibelikan syarat perlengkapannya," jawab Karman.

Barang-barang yang dibutuhkan Karman agak menyerempet hal mistis. Sembilan buah cobek dari batu, bunga telon, parutan kunyit dan bunga tabur tujuh rupa.

Tanpa pikir panjang, syarat tersebut disanggupi Pranoto. Dia menugaskan anak buahnya memberi barang-barang itu di Pasar Lasem.

Aksi Kopral Karman

Menjelang senja, Kopral Karman beraksi. Di halaman disusunnya satu cobek di tengah, sementara delapan buah cobek ditaruh melingkar mengikuti delapan arah mata angin. Semuanya diisi dengan air yang diambil dari sumur.

Hanya cobek yang di tengah yang diberi bunga telon. Sisanya hanya diisi air saja. Kopral Karman membakar kemenyan dan komat-kamit mengucap mantra.

Setelah menunggu beberapa lama, datanglah seekor ular sawah mendekati cobek-cobek yang disusun itu. Seluruh batalion menyaksikan dengan cermat. Tak ada satu pun yang bergerak melihat aksi Karman dan ular itu.

"Ular itu cukup besar, kira-kira sebesar jempol kaki orang dewasa. Warnanya keabu-abuan," kata Pranoto.

Ular Baik

Ular itu masuk ke cobek di tengah, hanya sebentar kemudian keluar dan melintas lagi ke cobek lainnya sebelum meninggalkan halaman markas TNI itu. Pranoto pun bertanya pada Karman, kenapa ular tersebut tidak tetap melingkar di cobek tengah.

"Maaf Pak, ular tadi itu tidak pernah berbuat jahat kepada manusia,' jawab Karman. Rupanya ular itu tidak pernah menggigit atau menyerang manusia dengan bisanya.

Melihat itu, yakinlah semua pasukan dengan kemampuan Kopral Karman. Mereka sempat menunggu datangnya ular lain. Namun malam itu rupanya hanya satu yang datang. 

"Kopral Karman ternyata orang yang merawat ular sanca milik Bapak Panglima Besar Soedirman," kata Pranoto.***