Jadi Alat Kekuasaan, Banyak Media Merusak Pers Kata Pakar Bertanggung Jawab Jaga Kewarasan Publik

Diskusi bertajuk 'Kebebasan, Etika dan Netralitas Pers' di Kantor Dewan Pers/RMOL

JAKARTA (SURYA24.COM)-  Sebagai pilar demokrasi, Pers seharusnya menjadi instrumen kontrol pemerintah dan pejuang kepentingan publik. Namun di sisi lain Pers dipersepsikan buruk karena karena kerap dicap penyebar hoaks.

Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengasumsikan banyak media yang belakangan menjadi perusak pers.

 

Pasalnya, media kerap dimanfaatkan sebagai alat kekuasaan dan kepentingan. Imbasnya, merusak tatanan publik dengan framing informasi yang keliru dan mengatasnamakan publik.

Yadi berpandangan bertumbuhnya perusahaan media di Indonesia tidak disertai kualitas pers yang baik dan kuat.

"Pers kita tidak dibangun dengan culture yang kritis dan skeptis," katanya saat menjadi narasumber Diskusi Kebebasan, Etika, dan Netralitas Pers, yang diselenggarakan Dewan Pers, seperti dilansir rmol.id, Rabu (5/7).

Dewan Pers menemukan efektivitas media dimanfaatkan sejumlah calon pemimpin untuk membuat atau membeli medianya sendiri untuk digunakan sarana berkampanye.

"Setelah terpilih/tidak terpilih medianya dibiarkan tidak terurus," sambungnya.

Temuan lainnya, banyak LSM atau pengacara di daerah membuat media untuk memeras dan memberitakan sesuai kepentingan mereka. Selanjutnya penggunaan atribut dan nama institusi negara banyak digunakan oknum tidak bertanggungjawab.

"Pers memiliki peran penting dalam mewujudkan pemilu yang bebas, rahasia, jujur dan adil. Peran pers pun menjadi relevan dengan berbagai penyebaran hoaks di lini masa dan berkembangnya buzzer," pungkasnya.

Menjaga Kewarasan Publik

Dibagian lain, pers punya kewajiban untuk menjaga iklim demokrasi dan mendukung terselenggaranya pemilu sehat dan fair. Termasuk harus membantu masyarakat dalam memilih calon pemimpin yang kompeten.

Begitu pesan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, dalam diskusi bertajuk 'Kebebasan, Etika dan Netralitas Pers' di Kantor Dewan Pers, Rabu (5/7).

"Pers punya kewajiban menjaga kewarasan publik dalam memilih calon-calon pemimpinnya," kata Yadi.

Dia menegaskan, pers memiliki peran penting dalam mewujudkan pemilu yang bebas, rahasia, jujur, dan adil. Peran pers pun menjadi relevan di tengah penyebaran hoax di linimasa dan berkembangnya buzzer di media sosial.

Selanjutnya bagi jurnalis yang terlibat dalam kontestasi politik sebagai caleg, calon pemimpin/ kepala daerah dan tim sukses, Dewan Pers meminta untuk mengundurkan diri atau nonaktif sementara.

"Pers harus menjadi wasit yang profesional dan adil, nilai-nilai moral, integritas, dan tanggung jawab sesuai dengan kode etik harus menjadi guidance utama," tegas Yadi. 

Tugas Berat Pers Jelang Pemilu

Sementara itu mantan Ketua Dewan Pers, Prof. Bagir Manan berpendapat pers memiliki peran yang sangat strategis dalam mengawal pesta demokrasi. Oleh karena itu, Pers tidak cukup hanya mengabarkan peristiwa politik.

Hal ini ditegaskan mantan Ketua Dewan Pers, Prof Bagir Manan saat menghadiri diskusi yang diselenggarakan Dewan Pers bertajuk 'Kebebasan, Etika dan Netralitas Pers'.

"Sudah waktunya Pers dalam pemberitaan Pemilu juga wawancara gagasan apa yang mau (Capres) kerjakan," kata Bagir seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (5/7).

Mantan Ketua Mahkamah Agung itu membeberkan, setidaknya ada empat tantangan  yang dihadapi jelang Pemilu. Pertama, mobilisasi lebih kuat dari partisipasi.

Selanjutnya pemikiran mayoritas yang sudah menjadi pemikiran umum. Sayangnya, pemikiran ini terkadang mengarah kepada tindakan otoriter. Ketiga, kebebasan yang berpotensi mengarah ke anarkisme.

 

"Keempat, Pemilu semata-mata bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan. Tidak untuk mewujudkan suatu gagasan. Tetapi agar berkuasa. Akibatnya membenarkan segala cara," tegas Bagir Manan.

Atas dasar hal tersebut, Bagir Manan menekankan, Pers melalui perannya diharapkan dapat membendung pembelahan sosial seperti yang terjadi di Pemilu sebelumnya.