Menakar Peran PT PHR demi Kemandirian Energi Anak Negeri dan Penguatan APBN

f ist

Oleh : Ridwan Safri

KABAR gembira datang dari Blok Rokan. Dilaporkan bahwa produksi ladang minyak sarat sejarah itu bakal menyalip Blok Cepu. Belakangan dikabarkan dari hasil tes sumur baru SLC Blok Rokan ternyata lebih tinggi dari perkiraan.

Berita mengembirakan ini datang dari EVP Upstream Business PT PHR WK Rokan Edwil Suzandi kepada pemburu berita termasuk media ini.

Petinggi anak perusahan Pertamina menyebutkan bahwa hasil pengeboran terhadap sumur baru ini ternyata mengandung kandungan minyak Sumatera Light Crude (SLC) yang kesohor ke mancanegara. Tak hanya itu hasil tes sumur baru ini menghasilkan produksi yang lebih tinggi dari perkiraan awal.

 Lebih lanjut Edwil Suzandi menyebutkan bahwa sumur baru tersebut yakni Sikladi 34 atau disebut SD034 (NW1) yang berada di Lapangan Sikladi, Riau. Dari tes sumur yang dilakukan, Minggu (9/7/2023) didapati hasil produksi sumur ini menunjukkan hasil yang baik.

Dengan kata lain, produksi awal sumur baru ini mencapai 1,231 BOPD dengan kedalaman pemboran mencapai 1,371 meter. Aktual produksi sumur ini lebih tinggi dari perkiraan awal, yaitu sebesar 102 BOPD.

Ya, hasil positif ini semakin memacu PHR untuk terus mencari peluang baru dan mengoptimalkan produksi yang ada. "PHR terus berupaya untuk mendapatkan sumur-sumur baru dengan produksi yang tinggi untuk mendukung pencapaian target produksi nasional," katanya.

 

f ist

Kabar baik jelang tiga momen berharga di bulan Agustus diantaranya HUT RI ke 78, hari jadi ke 66 Provinsi Riau pada tanggal 9 Agustus 2023 dan dua tahun alih kelola Blok Rokan 9 Agustus 2023, datang dari lapangan Pinang, di mana hasil dari sumur workover (perbaikan) Pinang 52 didapati hasil produksi pada Minggu (9/7) sebanyak 614 BOPD, meningkat 572 BOPD dari produksi sebelumnya yakni dari produksi sebelumnya yakni 42 BOPD.

Menariknya sumur ini baru ibor di tahun 2021, dilakukan optimisasi dengan membuka zona baru yang sebelumnya belum diproduksikan. Tidak banyak workover dengan oil gain di atas 500 BOPD.

Sebagai informasi minyak SLC merupakan jenis minyak yang khas di WK Rokan. Jenis ini cocok diolah oleh kilang-kilang domestik milik Pertamina.

Eksporasi MNK

Tak puas dengan memburu minyak jenis SLC,  PT PHR melakukan studi potensi Minyak Non Konvensional (MNK) di kawasan Blok Rokan. Hasilnya, ditemukan peluang MNK di Wilayah Kerja Rokan yang diharapkan untuk mendukung produksi minyak nasional.

Untuk yang satu ini, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyiapkan sejumlah strategi untuk mendukung dan mendorong pengusahaan sumber daya MNK melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 35 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi.

Bak gayung bersambut, manajemen PT PHR menyambut positif peraturan tersebut “Kami dari PHR menyambut baik peraturan tersebut, dan di bulan Mei 2022 menyatakan keberminatan untuk melakukan studi potensi MNK di wilayah kerja Rokan,” kata Edwil.

Dalam melakukan studi evaluasi potensi (teknis) MNK Rokan, kata Edwil, PHR melakukan Nota Kesepahaman Bersama (MoU) dengan perusahaan internasional yang telah terbukti berhasil mengusahakan dan mengembangkan sumber daya MNK di Amerika Serikat. Untuk mendukung ikhtiar ini, PHR juga melibatkan Tim Percepatan Pengusahaan MNK yang dibentuk oleh Kementrian ESDM.

“Diperlukan teknologi dan investasi untuk mengembangkan sumber daya MNK. Oleh karena itu diperlukan tahapan eksplorasi, _appraisal_, termasuk pilot dan demonstrasi yang terintegrasi dan terencana dengan baik,” katanya.

Potensi sumber daya MNK di WK Rokan berada di formasi pematang brown shale yakni batuan induk utama hidrokarbon yang ada di kawasan Sumatera bagian tengah, dan lower red bed yakni formasi bebatuan yang berada di bawah brown shale. Potensi ini berada pada kedalaman lebih dari 6.000 kaki.

“Di WK Rokan potensi MNK ini ada di wilayah sumur Gulamo, dengan rencana total kedalaman mencapai 8.559 kaki. Sumur ini merupakan salah satu dari dua sumur eksplorasi vertikal yang direncanakan oleh PT Pertamina Hulu Rokan sebagai operator wilayah kerja Rokan, bagi tahapan eksplorasi MNK Rokan,” jelas Edwil.

Masih kata Edwil, operasi pengeboran sumur eksplorasi MNK Gulamo akan menggunakan rig berukuran besar dengan tenaga 1,500 horsepower  (HP). “Sebagai pembanding, operasi eksplorasi dan eksploitasi migas konvensional di wilayah kerja Rokan umumnya menggunakan Rig 350 HP, 550 HP, 750 HP. Diperlukan area _wellpad_ (lokasi eksplorasi) yang cukup luas, lebih kurang 2,5 hektare atau 2,5 kali lebih luas dari wellpad pada umumnya. Pada tahap pengembangan nantinya wellpad_ ini dapat mengakomodasi sekitar 8 kepala sumur,” jelas Edwil.

Sebagai informasi MNK merupakan minyak dan gas bumi yang diusahakan dari reservoir tempat terbentuknya minyak dan gas bumi dengan permeabilitas yang rendah (low permeability). Rencananya, Pertamina, melalui PHR akan melakukan tajak sumur perdana MNK menjelang akhir bulan Juli ini.

Perbedaan utama eksplorasi migas konvensional dengan eksplorasi MNK terletak pada lokasi minyak di lapisan bumi. Migas konvensional lebih mudah terlihat karena letaknya tidak terlalu dalam dari permukaan. Sedangkan MNK berada di lapisan yang lebih dalam.

Berbeda dengan migas konvensional, MNK adalah hidrokarbon yang terbentuk dan terkekang pada batuan reservoir klastik (pecahan batuan dan sisa-sisa kerangka organisme yang telah mati) yang berbutir halus dan permeabilitas (kemampuan bebatuan untuk meloloskan partikel) rendah di dalam zona kematangan yang hanya bernilai ekonomi apabila diproduksikan melalui pengeboran horizontal dengan teknik stimulasi multi-stage hydraulic fracturing.

Keseimbangan Hulu dan Hilir

Seperti diketahui ketimpangan di sektor hulu dan hilir industri Minyak dan Gas (Migas) di tanah air yang membuat kedodoran. Sebab, jika salah satu dari dua komponen besar industri itu keteteran bisa dipastikan negeri berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa ini kembali  impor Bahan Bakar Minyak (BBM) tentu  ini akan menggerogoti APBN. Alih-alih ancaman defisit transaksi berjalan   tinggal di depan mata. Belum lagi kian membengkaknya subsidi.  Lantas langkah apa yang dilakukan pemangku kepentingan? Berikut Tulisannya.

Alih-alih keputusan teramat pahit dan getir terpaksa diambil pemerintah, Sabtu (3/9),  yakni menaikan BBM, harga Pertalite kini dibanderol harga Rp10.000 per liter atau naik Rp2.350 dari harga sebelumnya Rp7.650 per liter. Sementara harga Solar subsidi  menjadi Rp6.800 per liter atau naik 1.650 dari harga awal Rp5.150 per liter.

    Kenaikan versi pemerintah salah satunya dipicu jebolnya subsidi BMM tepatnya kelebihan subsidi Rp 195,6 triliun dan itu berpotensi dibayarkan pada 2023. 

    Seperti diketahui subsidi BBM dan kompensasi mencapai Rp 689 triliun atau lebih Rp 195,6 triliun dari yang dianggarkan pemerintah dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2022 senilai Rp 502,4 triliun.

    Sejumlah analis  menilai bahwa kenaikan BBM ini menjadi langkah Pemerintah Indonesia menghadapi gejolak minyak dunia. Maka dari itu, harga BBM di dalam negeri tidak bisa ditopang dengan memberikan subsidi dari APBN

Melejit    

      Keinginan pemerintah untuk swasembada BBM atau menyetop kran impor tahun 2030 tidak dipisahkan dari keberadaan sektor hulu industri minyak dan gas bumi (Migas) nasional, salah satunya Blok Rokan.

     Pra sebelum dialih kelola pemerintah Indonesia melalui PT Pertamina (Persero) dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) tanggal 9 Agustus 2021, sebagian besar publik di tanah air meragukan apakah Wilayah Kerja (WK) seluas 6200 kilometer persegi dan berada ditujuh kabupaten/kota di Provinsi Riau meliputi, Kabupaten, Rokan Hilir, Rokan Hulu, Kampar, Siak, Bengkalis, Kota Pekanbaru dan Kota Dumai sebagai daerah pengelolah  ini memiliki nilai ekonomis atau menguntungkan. Mengingat hampir 97 tahun dieksporasi oleh perusahaan asal negeri Paman Sam.

          Lantas, seberapa besar potensi produksi minyak di Blok Rokan dan kontribusinya terhadap target pemerintah pada 2030 mendatang? Mengingat hampir 70 tahun dieksporasi? Pasca  Menteri Ekonomi yang kala itu dijabat Sumanang Surjominoto meresmikan pengapalan pertama minyak dari Lapangan Minas melalui Sei Pakning sekitar tahun 1952. 

      Jawaban atas pertanyaan itu salah satunya datang dari Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa.

     Fabby Tumiwa memprediksi produksi minyak di Blok Rokan naik menjadi lebih dari 200 ribu-300 ribu barel per hari dalam beberapa tahun ke depan. Secara bertahap, naik menjadi 400 ribu barel per hari pada 2030-2035 ini sesuai target SKK Migas.

        Artinya, kontribusi Blok Rokan terhadap produksi minyak nasional berpotensi semakin tinggi. Jika saat ini kontribusinya baru 24 persen, maka beberapa tahun ke depan bisa mencapai 25 persen sampai 30 persen.

 "Kalau Blok Rokan bisa memproduksi 300 ribu barel per hari pada 2030, artinya ada kenaikan hampir dua kali lipat dari sekarang. Itu bisa berkontribusi 25 persen-30 persen kalau target 1 juta barel tercapai pada 2030," ujar Fabby dikutip cnn Indonesia.com.

     Namun, lanjut dia, Pertamina perlu berupaya keras untuk menaikkan produksi minyak di Blok Rokan. Salah satunya dengan penerapan teknologi enhanced oil recovery (EOR).

      Untuk penggunaan teknologi menggenjot produksi Blok Rokan maka penulis melayangkan pertanyaan tertulis   kepada Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) Jaffee Arizon Suardin melalui Manager Corporate Communications PT PHR Sonitha Poernomo, Senin (19/9).

   Menurut Sonitha Poernomo penerapan teknologi digital merupakan satu  bagian penting dari PT PHR dalam melakukan kegiatan eksporasi di Blok Rokan. Sedangkan Telnologi EOR direncakakan akan digunakan 2024. 

   Masih kata dia, terdapat fasilitas pusat kendali operasional dan big data yang dapat memantau kegiatan di lapangan secara real time yang disebut Digital & Innovation Center (DICE) sangat menunjang pengambilan keputusan yang cepat dan tepat.

   “Fasilitas ini dilengkapi 66 layar yang menampilkan data dan informasi dalam bentuk digital dashboard, di antaranya terkait pemantauan aktivitas pengeboran; jadwal pengeboran yang terintegrasi (Integrated Drilling Schedule); penyiapan lokasi pengeboran dan pembangunan fasilitas sumur minyak; dan pengelolaan kegiatan produksi dan perawatan peralatan,” paparnya panjang lebar.

   Teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI), sambung dia,  juga dimanfaatkan, antara lain, untuk pengaturan jadwal perawatan ulang (workover) sumur secara otomatis; perencanaan pergerakan rig yang lebih optimal dan efisien.

   “Ini termasuk identifikasi kinerja pompa yang sudah tidak optimal; analisa dan pengukuran aliran minyak agar produksi optimal; serta pemantauan jarak jauh dan saling terintegrasi untuk kondisi tekanan fluida di dalam sumur minyak,” katanya.

    Sebagaimana disampaikan oleh Dirut PHR Jaffee A. Suardin, fasilitas Digital & Innovation Center ini, kata Sonitha Poernomo,  sangat mendukung rencana kerja masif dan agresif di WK Rokan, termasuk program pengeboran 400 hingga 500 sumur pada tahun ini.

      Lalu pengunaan pengunaan  EOR? Dirangkum dari berbagai sumber menyebutkan bahwa metode perolehan minyak tahap lanjut dengan cara menambahkan energi berupa material atau fluida khusus yang tidak terdapat dalam reservoir minyak.

         EOR umumnya diterapkan di lapangan minyak yang telah cukup lama diproduksikan (mature field) dengan tujuan mengambil minyak tersisa yang tidak dapat diproduksi dengan metode perolehan primer dan sekunder (water flooding).

        Sejumlah teknik EOR yang dikenal sejauh ini adalah injeksi uap panas (steam flooding), injeksi kimia (chemical flooding), dan injeksi gas (gas flooding).

       Dibagian lain Fabby memproyeksi Blok Rokan akan menyalip jumlah produksi minyak di Blok Cepu. Saat ini, posisi Blok Rokan masih menjadi ladang minyak terbesar kedua setelah Blok Cepu.

       Seperti diketahui jumlah produksi minyak Blok Rokan baru 160 ribu barel per hari pada Juli 2021. Jumlahnya di bawah Blok Cepu yang sudah mencapai 220 ribu barel per hari pada awal Juni 2021.

          "Jumlah produksi di Blok Rokan bisa naik lebih dari Blok Cepu karena Blok Cepu saat ini sudah mencapai titik puncak," ujar Fabby.

        Produksi minyak di Blok Cepu, sambung Fabby, berpotensi menurun secara alamiah karena umurnya sudah cukup tua. Dengan begitu, produksi di Blok Cepu sulit dipertahankan di level seperti sekarang.

     Untuk mencapai hal itu,  Fabby Tumiwa mewanti-wanti PT PHR harus bekerja keras untuk mengembalikan produksi Rokan pada puncaknya yang sempat menyentuh 300 ribu-400 ribu barel per hari.

     Masih kata dia,  setelah dieksploitasi selama 97 tahun oleh Chevron, ia menyebut Pertamina perlu memaksimalkan berbagai reservoir berkualitas rendah yang selama ini tak disentuh Chevron karena masalah kualitas dan risiko.

       Berdasarkan data SKK Migas, ia menyebut target lifting 400 ribu baru dapat tercapai dalam 2035 mendatang. Bila terpenuhi, disebutkannya menyebut 25 persen-35 persen dari konsumsi minyak nasional bisa dipenuhi dari Blok Rokan.

      Senada dengan hal itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan dana yang digelontorkan PT Pertamina (Persero) dalam mengambil alih ladang minyak Blok Rokan setimpal dengan potensi minyak bumi yang terkandung.

            Ia menyebut Blok Rokan diperkirakan memiliki cadangan minyak sekitar 1,5 miliar-2 miliar barel. Cadangan itu setimpal dengan harga US$70 miliar atau sekitar Rp1.008 triliun yang dikeluarkan Pertamina untuk mengelola wilayah kerja minyak dan gas Rokan selama 20 tahun ke depan.

       "Saya melihatnya masih cukup worth it karena informasi potensi di sana masih 1,5 miliar-2 miliar barel dan potensi masih cukup besar, tinggal bagaimana dioptimalisasi sama PHR (Pertamina Hulu Rokan)," katanya dilansir  cnnIndonesia.com. 

        Mamit mengatakan posisi Blok Rokan yang menjadi ladang minyak terbesar kedua setelah Blok Cepu, akan membantu memenuhi target lifting minyak mentah Kementerian ESDM yang mencapai 1 juta barel per hari (BOPD) pada 2030.

        Ini bisa dimaksimalkan mengingat Pertamina menargetkan akan menambah titik sumur pengeboran di Blok Rokan. Sedangkan pengelola sebelumnya, Chevron, hanya mengandalkan lapangan Minas dan lapangan Duri.

         Saat ini, rata-rata produksi wilayah kerja tersebut sekitar 160,5 ribu barel per hari atau sekitar 24 persen dari produksi nasional dan 41 juta kaki kubik per hari untuk gas bumi. Angka tersebut, menurut Mamit, masih bisa dinaikkan.

 

f ist

   Jika ini terwujud diperkirakan akan berpengaruh besar terhadap target nasional 1 juta barel per hari pada 2030 mendatang. Pasalnya, terdapat lebih dari 100 lapangan di Blok Rokan yang belum berproduksi secara optimal.

        "Chevron kemarin banyak bermain di lapangan besar seperti Minas dan Duri, sedangkan Blok Rokan ini sebenarnya ada lapangan kecil lain yang tidak terlalu digarap oleh Chevron," ungkap Mamit seolah-seolah membuka rahasia.

       Ia berharap Pertamina sebagai pengelola baru Blok Rokan dapat mengoptimalkan lapangan kecil tersebut. Menurut Mamit, PHR bisa mengaktifkan kembali sumur tua dan mengebor area yang belum terjamah  Chevron.

         Untuk menggenjot produksi Blok Rokan, Pertamina tidak main-main perusahaan plat merah itu  telah menyiapkan dana lebih dari US$2 juta untuk mendorong produksi minyak dan gas hingga 2025 mendatang. Perusahaan berencana mengebor 161 sumur minyak di Blok Rokan sampai akhir 2021 termasuk akan mengebor 500 sumur pada 2022.

          Pasca alih kelola dari Chevron,  PHR mengelola wilayah kerja seluas 6.264 kilometer persegi dengan 10 lapangan utama yang terdiri dari, Minas, Duri, Bangko, Bekasap, Balam South, Kotabatak, Petani, Pematang, Petapahan, dan Pager.

         Sejarah mencatat, puncak produksi lapangan Minas terjadi pada tahun 1973 yang mencapai 440 ribu barel per hari.          Meskipun sudah miliaran minyak keluar dari bumi Blok Rokan, ladang minyak itu diperkirakan masih memiliki cadangan minyak sekitar 1,5 miliar – 2 miliar barel. 

        Kendati sempat mengalami penurunan, namun sikap optimis bahwa wilayah Duri memiliki sumber energi yang potensial datang dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif. Ia berharap PHR bisa melakukan eksplorasi yang masif untuk meningkatkan produksi.

    "Sekarang pada posisi 56 ribu barel per hari, khusus Duri. Tentu saja daerah ini masih memiliki sumber (minyak) yang potensial untuk ke depannya," kata  Tasrif saat mengunjungi Duri beberapa waktu lalu.

       Sebaliknya, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan jika produksi migas di Blok Rokan bisa mencapai 171,5 MBOPD (ribu barel minyak per hari), maka angka ini akan melewati jumlah produksi Blok Cepu.

   "Tantangan kita adalah salip Cepu akhir tahun," ujar Nicke saat berkunjung di fasilitas Digital & Innovation Center (DICE), Kompleks Pertamina Hulu Rokan, Rumbai, Pekanbaru, belum lama ini.

    Dengan sendirinya ekspetasi pemerintah terkait produksi Blok Rokan tercapai. Disisi lain perlahan tapi pasti menjawab keraguan publik.

 Kilang Baru

     Jika disektor hulu produksi Blok Rokan menunjukan trend yang baik dan data kekinian menyebutkan bahwa Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkapkan, perusahaan raksasa migas asal Inggris yakni Premier Oil berhasil menemukan 'harta karun' migas di Blok Andaman II yang terletak di 150 km lepas pantai Aceh menemukan cadangan minyak dan gas bumi.

      Penemuan 'harta karun' migas tersebut diperoleh setelah perusahaan asal Inggris itu menyelesaikan pengeboran sumur eksplorasi Timpan-1 pada kedalaman air 4.245 kaki. Sumur di bor secara vertikal total pada kedalaman 13.818 kaki di bawah laut.

     Berdasarkan pengujian, sumur mengalirkan gas sebesar 27 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dan 1.884 barel kondensat per hari (BOPD). Premier Oil Andaman Ltd. akan segera melakukan studi evaluasi post drill untuk menentukan langkah eksplorasi selanjutnya dalam usaha mengkomersialisasikan penemuan ini di lepas pantai cekungan Sumatera Utara.

   Lantas pertanyaan menarik mengemuka bagaimana sektor hilir? Sebab, tingginya produksi Migas dalam negeri jadi kurang bermakna jika tidak ditopang dengan jumlah kilang memadai. 

     Mau tidak mau sebagian produksi minyak mentah dijual atau diekspor. Namun tingginya konsumsi BBM membuat pemerintah mengimpor BBM. Ironisnya, yang diimpor itu merupakan hasil minyak mentah asal Indonesia yang dikelola negara pengimpor.

        Untuk yang satu ini, pemerhati energi Riau Bambang Irawan ST mengatakan bahwa menambah jumlah kilang merupakan suatu keharusan. “Tidak ada kata lain penambahan kilang baru adalah sebuah keharusan agar ke depan terjadi keseimbangan antara sektor hulu dan hilir,” ingatnya kepada penulis baru-baru ini. 

    Menurut hemat penulis apa yang dikemukan cendikiawan muda itu tidak berlebihan mengingat dalam sejumlah kesempatan Presiden Joko Widodo geram menyusul lambannya pembangunan kilang. 

   Bahkan, orang nomor satu di republik ini mengatakan bahwa dalam kurun waktu 30 tahun tidak ada pembangunan kilang baru.

    Itupula yang mendorong Presiden Jokowi terus menerus menggaungkan perlunya Pertamina melakukan pengembangan dan pembangunan kilang baru demi mengurangi impor BBM yang menjadi ‘biang kerok’ besarnya defisit neraca transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD) plus terwujudnya kemandirian, ketahanan dan kedaulatan energi.

      “Itu termasuk waktu lama, kalau kita kalkulasi dengan penambahan jumlah penduduk, perkembangan industri dan sebagainya. Tentu tidak seimbang,” tegas Bambang Irawan.

            Soal ‘sedot-menyedot’ BBM memang bangsa ini tergolong besar? Yakni mencapai 1,6 juta bph. Sementara kapasitas lifting  (produksi) sekitar 850.000 barel per hari. Artinya ada jurang  yang teramat besar antara konsumsi BBM nasional dengan produksi. 

     Memang,  Pertamina saat ini memiliki sebanyak tujuh kilang pengelolahan atau Refinery Unit (RU) meliputi, RU I Pangkalan Brandan (dengan kapasitas 5.000 barel per hari).

      Berikutnya RU II Dumai (127.000 barel), RU Plaju III, Sumatra Selatan (133.000), RU IV Cilacap (348.000), RU  V Balikpapan (260.000), RU  Kasim VI, Sorong (10.000), dan RU VII Balongan (125.000). 

     Dengan kapasitas kilang sekitar  1,046  juta bph dan konsumsi BBM sekitar 1,6 juta barel bph maka untuk menambah kekurangan langkah impor pun tidak bisa dielakan.

      Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor Januari-Oktober 2019 mencapai US$ 11,2 miliar.  Sementara hasil ekspor hasil minyak hanya US$ 1,6 miliar. Artinya negara tekor US$ 9,6 miliar.

       Angka itulah yang menyebabkan neraca dagang RI periode 10 bulan 2019 mebukukan defisit sebesar US$ 1,7 miliar karena neraca dagang Migas menyumbang defisit sebesar US$ 7,3 miliar disaat neraca dagang non-migas surplus US$ 5,5 miliar.

      Menyusul masalah ini, pemerhati Migas Riau , Bambang Irawan ST, menilai Pertamina tidak punya pilihan.

       “Persoalan utamanya bukan masalah 30 tahun  ada atau tidak  pembangunan kilang baru. Tapi, Pertamina tidak punya pilihan untuk memenuhi sejumlah tuntutan dan tantangan ke depan selain melakukan pengembangan dan pembangunan kilang plus inovasi terkait  energi baru dan terbarukan atau EBT, “ kata Bambang Irawan.

      Ada beberapa  alasan mengapa Pertamina harus melakukan program Refinary Development  Master Plan (RDMP) atau pengembangan kapasitas kilang (revitalisasi) meliputi RDMP Balikpapan, Cilacap, Balongan, dan Dumai. Disamping melakukan Grass Root Refinary  (GRR) atau pembangunan kilang  Tuban. Kendati ekonomi dalam negeri dan dunia tidak menguntungkan menyusul pandemik Covid-19 serta perang Rusia dengan Ukraina yang semuanya menyeret resesi ekonimi global.

       Pertama, banyaknya kilang-kilang tua dan teknologi lama yang  masih digunakan menjadi faktor pendorong utama revitalisasi dan pembangunan kilang  baru. 

            Kedua, kondisi ini membuat kualitas kilang milik Pertamina  masih mengacu kepada  Euro II dengan tingkat sulfur terbilang tinggi. Disisi lain, sejumlah  negara tetangga sudah melakukan peralihan kualitas BBM. Ambil contoh, Brunei Darussalam dan Malaysia yang telah menggunakan BBM standar Euro 4 sejak tahun 2016 dan 2018. Bahkan Singapura sudah mencoba  BBM standar Euro 4 sejak 2010 lalu.

      “Kilang-kilang eksisting di Indonesia rata-rata sudah beroperasi puluhan tahun  memasuki usia tua notabene  memakai teknologi lama. Ambil contoh Kilang RU Pertamina RU II Dumai dibangun dekade 70-an, mau tidak mau langkah up grade atau revitalisasi kilang dan pembangunan kilang baru  tidak bisa dihindarkan. Bahkan hukumnya wajib, ” kata Bambang Irawan lagi.

     Keempat, pembangunan kilang minyak dengan teknologi mengacu standar Euro IV dan V  notabene  meningkatkan daya saing Indonesia dalam mengelola hasil produksi minyak. Dengan kata lain, pengembangan kilang  kilang lama Pertamina merupakan langkah yang tepat. 

      Tak hanya itu, langkah revitalisasi dan pembangunan kilang baru yang menggunakan teknologi baru  akan menguntungkan bagi Pertamina karena dapat mengekspor  BBM yang  telah memenuhi standar dunia.

            Kelima, kilang minyak Pertamina yang sudah di up grade  nantinya akan saling terintegrasi dengan industri pengolahan petrokimia notabene akan memberi nilai tambah bagi perusahaan. 

      Keenam, yang tak kalah pentingnya, pembangunan kilang minyak dapat membuat negara kepulauan ini lepas dari ketergantungan impor BBM untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang dituding menjadi biang kerok defisit transaksi berjalan.

       Ketujuh,  proyek revitalisasi kilang dan pembangunan kilang yang dilakukan Pertamina akan menyerap tenaga kerja besar-besaran notabene menciptakan  amultiplier effect atau efek berganda cukup besar. Ambil contoh, untuk proyek GRR Tuban, Pertamina memproyeksikan kebutuhan tenaga kerja sebanyak 20 ribu orang begitu pula revitalisasi kilang di Balikpapan notabene menciptakan multiplier effect atau efek berganda .

    Dengan sendirinya revitalisasi dan pembangunan kilang baru   menciptakan lapangan kerja dan ekonomi daerah kembali bergairah di tengah lesunya perekonomian imbas  pandemik Covid-19.

    Catatan penulis, untuk yang satu ini, Pertamina terbilang agresif melakukan  penjajakan dan pendekatan terhadap sejumlah investor mancanegara agar menanamkan investasi terhadap mega proyek revitalisasi dan pembangunan kilang baru.

      Mega proyek ini tidak hanya sekedar mengurangi impor  BBM dari kapasitas 1 juta barel per hari (bph) saat ini menjadi 2 juta bph plus menekan defisittransaksi berjalan, namun juga memenuhi tuntutan dunia terkait kualitas BBM.

      Oleh karena itu, adalah wajar jika perusahaan plat merah ini melakukan hal tersebut mengingat proyek RDMP dan GRR hingga 2026 yang  bertujuan agar Indonesia swasembada BBM terwujud. Untuk mewaujudkan hal itu  dibutuhkan dana tidak sedikit yakni sekitar Rp800 triliun.

      Bak kata pepatah, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Begitupula dengan mega proyek revitalisasi dan pembangunan   kilang baru . Dana sebesar itu  tidak hanya mewujudkan mimpi besar negeri yang dihuni lberbilang suku ini terbebas dari impor BBM ketika mega proyek itu  rampung dibangun . 

       Tak hanya itu, turunan dari    pembangunan kilang baru diiringi dengan industri petrochemical yang tentunya menjadi pemasukan bagi pemerintah sebagai pemegang saham Pertamina.

Insentif dan Kemudahan 

    Ada pertanyaan mengemuka  terkait lambannya pembangunan kilang menyusul statemen Presiden Jokowi bahwa kurun waktu 30 tahun terakhir belum ada pembangunan kilang baru.

     Sepinya investor masuk ke industri Migas tanah air, apakah investasi ke sektor itu tidak menarik lagi?

    Paling tidak,   batalnya rencana kemitraan Pertamina-Saudi Aramco menyusul pembangunan kilang di Cilacap, bisa menjadi acuan terkait iklim investasi sektor Migas di tanah air termasuk mundurnya mitra strategis perusahaan plat merah itu dibeberapa proyek. Tidak bisa dipungkiri bisnis Migas memiliki kareteristik yang berbeda dengan bisnis kebanyakan.

       Disisi lain pengembalian modal yang cukup lama karena profit margin kecil. Selain itu juga harus ada jaminan pasokan minyak mentah setidaknya untuk masa 30 tahun. Bisa ditebak ini akan  membuat investor harus berpikir ulang  dan melakukan  hitung-hitungan tersendiri sebelum mengelontorkan dananya.

    Kendati begitu untuk menjawab pertanyaan ini, pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi berpendapat bahwa investasi kilang minyak masih sangat menarik bagi para investor.

       Meski membutuhkan dana investasi yang besar serta pengembalian  jangka panjang dengan return yang kecil, tetapi bisnis kilang memiliki kepastian pasar yang berkelanjutan.

          Menurut dia, pemerintah perlu berkomitmen mendukung investasi kilang mengingat saat ini pengolahan minyak sangat dibutuhkan.

     Selain itu, pemerintah harus memberikan sejumlah insentif fiskal dan kemudahan dalam proses pembebasan tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan kilang.

     Sebaliknya, Staf Pengajar Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto menuturkan tertarik atau tidaknya investor pada proyek kilang pada prinsipnya sangat sederhana.

     Kata cendikiawan ini, selama pengembalian investasinya sesuai dengan standar kriteria investor dan adanya jaminan kepastian untuk hal tersebut maka proyek tersebut masih sangat menarik.

      Terlepas apakah masih menarik atau tidak bisnis kilang di mata investor, yang terang  ketergantungan energi nasional terhadap BBM impor masih tinggi membuat  ketahanan energi nasional sangat rentan. Disamping menguras cadangan devisa Negara, apalagi pembayarannya menggunakan mata uang asing sebut saja dolar Amerika.

            Soal pembangunan kilang baru harus diakhui dibanding Negara lainnya di Asia Pasifik sebut saja  Vietnam, Thailand, Tiongkok, dan India, Indonesia kalah. Mereka   menyadari urgensi pembangunan kilang  untuk memenuhi kebutuhan BBM negaranya. 

     Mereka pun berlomba-lomba menawarkan insentif fiskal dan non fiskal untuk mendorong pembangunan kilang. Keringanan pajak, pembebasan bea masuk impor, pembebasan atau pengurangan biaya sewa lahan, hingga kemudahan birokrasi diberikan untuk mempercepat pembangunan kilang.

     Terbilang menarik adalah apa yang dilakukan Singapura. Memang, mereka tidak punya sumur minyak seperti Indoneia. Tapi, soal kilang negeri singa itu jangan ditanya.

    Justru mereka memilki tiga kilang berpasitas besar. Sebut ExxonMobil  Island Refinery 605.000 bph, Singapore Refinery Company Island Refinery 285.000 bph, dan Pulau Bukom Refinery 458.000 bph. 

      Mengutip data yang dirilis lembaga informasi energi milik pemerintah Amerika Serikat (AS), Energy Information Administration (IEA), kapasitas kilang minyak di Singapura mencapai 1,4 juta barel per hari. Tentu, angka sangat fantastis jika ditilik dari cakupan luas territorial maupun jumlah penduduk.

     Jika dibandingkan dengan kapasitas pengolahan minyak di kilang Pertamina yang menurut data terkini bersumber Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat angka produksi minyak mentah Indonesia sepanjang semester pertama tahun 2022 ini tak sampai separuh dari kapasitas kilang minyak Singapura tersebut, sebanyak 616,6 ribu barel per hari (BOPD).

         Lantas apa yang harus dilakukan negeri ini? Ya, mau tidak mau meningkatkan kapasitas dan teknologi dari kilang minyak yang sudah ada, sambil berusaha untuk terus membangun kilang  yang berorientasi pada pengolahan minyak ekspor .

            Sebab, industri Migas telah terbukti menduduki peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi sebuah negara.

        Bahkan industri Migas  memiliki peran strategis dengan kepentingan negara, geopolitik dan geoekonomi suatu wilayah. Bahkan, terdapat kurang lebih 60 negara berkembang di penjuru dunia menggantungkan perekonomiannya dari sektor industri Migas termasuk Indonesia. Belum lagi kepentingan negara besar dan ratusan negara yang tidak memiliki sumur minyak yang tersebar di penjuru  dunia.

Lima Langkah

    Seperti diketahui untuk memenuhi BBM dalam negeri Indonesia terpaksa mengimpor komoditas itu dari luar negeri tepatnya sebagian besar didatangkan dari Singapura.

    Menariknya, minyak yang didatangkan dari negeri jiran itu berasal dari sumur-sumur minyak di Indonesia. Salah satu fakktor penyebabnya ketidakmampuan kilang di tanah air menampung dan memproses minyak mentah itu menjadi BBM siap pakai. Alih-alih  Ini membuat Singapura menjadi produsen BBM terbesar di dunia, meski negeri singa itu tak memiliki ladang minyak.

    Menariknya Indonesia menjual minyak mentah ke kilang minyak Singapura dalam jumlah yang signifikan. Ini membuat Negara yang luasnya beda tipis dengan Provinsi DKI Jakarta itu menjadi negara pengekspor minyak terbesar ketiga dunia, sebagian minyak itu dikirim ke Indonesia, Malaysia, dan China.

    Paling tidak, Januari-September 2019, ekspor minyak mentah Indonesia ke Singapura mencapai 546,71 juta dollar AS. Nilai ini mencapai 43,49 persen dari total ekspor minyak mentah Indonesia.

       Nyaris setiap tahunnya, Singapura menjadi negara pengekspor BBM ke Indonesia yaitu mencapai 10,3 juta ton mengalahkan Arab Saudi yang dikenal ‘gudangnya’ sumur-sumur minyak yang tersebar di seantero negeri itu.

         Mengutip dari laman Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia berturut-turut mengekspor minyak dari Singapura pada 2019, sebesar 12,916 miliar dollar AS, 2020 sebesar 10,661 miliar dollar AS, dan tahun 2021 11,634 miliar dollar AS. 

    Selain menguras devisa Negara, bisa dipastikan Indonesia mengalami defisit dalam tiga tahun berniaga  bersama Singpura, sebesar 4,673 miliar dollar AS tahun 2019, 1,679 miliar dollar AS tahun 2020, dan 3,817 miliar dollar AS tahun 2021.

   Dari data BPS juga diketahui nilai Impor BBM Indonesia dari Singapura dan Malaysia semester I/2022 BPS mencapai masing-masing US$6,37 miliar dan US$3,41 miliar per semester 1/2022.

    Artinya secara keseluruhan nilai impor BBM dari dua negara tetangga itu menyentuh Rp145,47 triliun, dengan kurs Rp14.875. Angka ini menjadi catatan impor hasil minyak tertinggi dari keseluruhan pembelian selama satu semester terakhir yang mencapai US$14,3 miliar.

    Menyoali tingginya impor BBM ini, pemerhati ekonomi Kota Dumai, Arif Azmi menilai ada lima kebijakan yang harus diambil pemerintah menyetop langkah impor itu.

   Pertama, swasembada migas yaitu menaikkan lifting. Untuk yang satu ini, kata Arif –panggilan Arif Azmi-,  meningkatnya produksi Blok Rokan melalui agresifnya PT PHR melakukan pengeboran sumur baru dan penggunaan teknologi terkini meningkatkan produksi sumur tua menjadi kabar gembira tersendiri.

   “Ini belum lagi temuan potensi minyak baru di sekitar perairan Provinsi Nanggroe Aceh Darusallam (NAD) yang ramai diberitakan ini juga membuat kita optimis bisa swasembada Migas 2030,” katanya.

   Kalau ekspetasi itu terwujud, lanjut dia, maka  permasalahan tinggal disektor hilir. Sebab, tingginya impor hasil pengolahan minyak mentah itu dari negara tetangga karena permintaan domestik yang belum mampu dipenuhi kilang yang ada  di dalam negeri.

      Penyebabnya lainnya produk minyak mentah Indonesia belum mencukupi atau minyak mentah mencukupi tetapi belum bisa mengolahnya menjadi hasil minyak di dalam negeri. “Penyebabnya tiga faktor,  kedodoran di hulu. Dengan kata lain belum bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bisa jadi hulu mencukupi tapi  di hilir tidak mencukupi, karena kilang belum mampu menampung atau mengelolanya. Terakhir kedua-duanya keteter, apakah di hulu maupun hilir. Ini yang paling repot, ” pungkasnya.

     Kedua, kata Arif, membangun kilang baru. Dengan artian hasil minyak mentah yang dihasilkan melalui eksporasi di sektor hulu telah melebihi kuota atau target konsumsi BBM nasional. “Kalau itu terjadi maka mau tidak mau pembangunan kilang baru atau hilir untuk pengelolahan menjadi krusial,” terangnya.

      Ketiga konversi BBM  ke Liquefied Natural Gas (LNG) atau gas bumi  mengingat lebih murah ketimbang Elpiji yang masih haus subsidi. Disamping itu LNG melimpah ruah.

       Seperti diketahui  impor LPG terbesar berasal dari Amerika Serikat, kendati begitu mayoritas impor LPG Indonesia  berasal dari negara Timur Tengah, bahkan ada juga dari Afrika. Adapun negara asal impor LPG RI selama 2021, mengutip data BPS: Amerika Serikat: 3,78 miliar kg, US$ 2,41 miliar. Uni Emirat Arab: 1,23 miliar kg, US$ 792,52 juta. 

   Alih-alih pemerintah merogoh kocek dalam-dalam untuk mendatangkan LPG mengutip data BPS 2021,  Amerika Serikat: 3,78 miliar kg, US$ 2,41 miliar. Uni Emirat Arab: 1,23 miliar kg, US$ 792,52 juta. Disisi lain realisasi subsidi LPG 3 kg pada 2021 mencapai Rp 67,62 triliun.

   “Dari data-data itu sudah saatnya  pengunaan massal LNG apakah itu melalui Jaringan Gas (Jargas) atau lainnya termasuk pengunaan untuk transportasi umum. Adalah hal mendasar ketika Presiden Jokowi meminta agar gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) yang diproduksi di Tanah Air juga diutamakan untuk kepentingan dalam negeri terlebih dahulu, sebelum diekspor,” terangnya seraya menambahkan  biaya terbesar dari optimalisasi LNG pembangunan jaringan pipa. “Tapi dalam berapa tahun akan BEP, yang penting impor berkurang,” tambahnya. 

    Keempat, sambung dia, adalah diservikasi energi. Untuk satu ini, Arif menilai pemerintah melalui Pertamina masif melakukan inovasi mulai dari bio diesel seperti B-20, B-50 sampai D-100, tenaga surya, panas bumi dan sebagainya. “Harus kita akui pemerintah telah melakukan berbagai upapa ke arah itu. Hanya saja persoalan sekarang bagaimana diservikasi energi itu bisa dinikmati masyarakat dengan mudah dan murah,” katanya.

          Terakhir, lanjut alumni salah satu perguruan tinggi di Kota Pekanbaru itu, yaitu melakukan penghematan. Persaoalannya, kata Arif, langkah itu menyangkut prilaku, kebiasaan dan sebagainya notabene dibutuhkan waktu untuk membentuk kesadaran kolektif.

    “Terkait hal ini, ada inkonsistensi dalam artian beberapa waktu kampanye hemat energy begitu gencar dan masif. Sekarang rasa-rasanya nyaris tidak terdengar lagi. Padahal, salahsatu kunci sukses sebuah program adalah konsistensi,” ingatnya.

    Khusus  untuk hemat energi ini, tambah Arif, sudah saatnya pemerintah menaikan pajak progresif kendaraan, karena satu orang memiliki banyak kendaraan terlebih roda empat diduga menjadi penyumbang macetnya jalan-jalan di sejumlah kota besar.

    Namun demikian, seyogianya pemerintah terlebih dahulu menyiapkan transportasi massal yang representasi. Sehingga para pekerja memanfaatkan transportasi itu menuju tempat mereka bekerja.

    “Di Negara-negara maju, kan hanya orang tertentu atau sudah super kaya yang memiliki kendaraan lebih dari satu atau dua. Tidak hanya itu, bahkan para eksekutif muda memanfaatkan kendaraan umum massal menuju ke kantor termasuk memanfaatkan sepeda,” paparnya.

    Sementara untuk kota  menengah, sedang atau kecil sudah saatnya menggunakan sepeda menuju tempat bekerja. Selain menghemat energi yang pengurangan impor BBM maka gerakan ini dalam rangka menuju zero polutan tahun 2050. “Mumpung masih ada waktu, banyak manfaatnya selain hemat energi, sehat juga mengurangi polusi hasil pembakaran energi karbon atau fosil. Karena ini menyangkut habit atau kebiasaan notabene sedari dini harus digalakan. Dan ini terlebih dipelopori pimpinan di daerah hingga ke level terendah,” ingatnya.           

        Kenadati begitu, Arif  tetap  berpendapat sinergisitas antara industri hulu dan hilir Migas menjadi kunci mengurangi impor. “Bahkan bisa zero, jika adanya keseimbangan antara produksi di hulu dan pengelolahan di hilir. Jadi tidak merogoh kocek dalam-dalam tapi sebaliknya menambah pundi-pundi devisa. Dengan catatan penghematan energi optimal serta pembatasan subsidi betul-betul ketat  serta tepat sasaran.” pungkasnya.

Ibarat  Lemak dalam Tubuh

   Seperti ramai diberitakan bahwa  langkah pahit yang diambil pemerintah untuk menaikan harga sejumlah Bahan Bakar Minyak (BBM)  dipicu jebolnya subsidi BMM tepatnya kelebihan subsidi Rp 195,6 triliun. 

     Ini disebabkan    subsidi BBM dan kompensasi mencapai Rp 689 triliun. Disisi lain pemerintah menganggarkan dalam APBN 2022 senilai Rp 502,4 triliun. Kelebihan ratusan triliun itu  berpotensi dibayarkan pada 2023. 

      Lantas timbul pertanyaan implikasi positif dan negatif menyusul  subsidi bagi sebuah Negara? Untuk satu ini pemerhati ekonomi Kota Dumai lainnya Iwan Iswandi SE mengatakan bahwa subsidi bisa diibaratkan lemak dalam tubuh manusia.

     Lebih lanjut alumni salah satu perguruan tinggi terkemuka di Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar) ini menyebutkan pada dasarnya efek subsidi ekses positif bagi perekonomian.

   “Ya, fungsi subsidi itu seperti lemak dalam tubuh yakni diantaranya berfungsi sebagai sumber energi, membantu tubuh menyalurkan vitamin agar tersalur ke seluruh tubuh, pembangunan sel tubuh, pelindung organ dan sebagainya,” terangnya.

   Sebaliknya, sambung dia,  tatkala lemak itu berlebihan maka akan berdampak kepada obesitas (kegemukan, pen) menjadi pemicu penyakit jantung, hipertensi, stroke dan sebagainya. “Nah, kira-kira ilustrasinya seperti itu,” terangnya.

      Lalu apa fungsi subsidi dilakukan Negara kepada rakyatnya? Sebelum menjawab itu, Iwan pun mengutip definisi kata subsidi dari  Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian subsidi adalah adalah bantuan uang dan sebagainya kepada yayasan, perkumpulan, dan sebagainya (biasanya dari pihak pemerintah).

    Sementara itu, menurut Milton H. Spencer dan Orley M. Amos, Jr. dalam bukunya Contemporary Economics, pengertian subsidi adalah pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu.

    Secara ekonomi, tujuan subsidi adalah untuk mengurangi harga atau menambah keluaran (output). 

    Bisa dikatakan,  pemberian subsidi yakni hal yang krusial dalam perekonomian suatu negara. Sebab,  memberi pengaruh input, output, serta harga beragam jenis komoditi. Adapun tujuan pemerintah memberikan subsidi, antara lain; pemerataan ekonomi, memenuhi keperluan dasar rakyat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sebagai langkah stabilisasi harga dan sebagainya.

      Lebih jauh cendikiawan muda ini menjelaskan, dengan subsidi BBM, misalnya, maka masyarakat memperoleh harga komoditas itu dibawah keekonomian, karena selisih antara harga real eceran dan harga produksi ditanggung Negara.   

   Kebijakan itu, lanjutnya, tidak hanya berlaku di Indonesia nyaris diseluruh dunia  Dengan subsidi penurunan harga masyarakat golongan bawah bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka dan berangsur-angsur mengalami peningkatan kualitas ekonomi. Disamping  menjaga daya beli masyarakat.

      “Ya, seperti lemak dalam tubuh tadi, selama subsidi terkontrol manfaatnya luar biasa terlebih bagi masyarakat akar rumput. Sebaliknya, tidak tepat sasaran maka efeknya  juga luar biasa,” pungkasnya.

    Dengan tidak tepat sasarannya subsidi, lanjut dia, membuat Angaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ‘sakit’. Kondisi ini diperparah dengan harga minyak dunia yang berfluktuasi yang kerap di atas pagu atau estimasi yang ditetapkan dalam menyusun APBN.

   Ditambahkannya, kondisi itu belanja melonjak sementara penerimaan masih sulit mencapai target karena melesunya ekonomi global menyusul pandemik Covid-19 dan perang Rusia versus Ukraina.

      Saat dilayangkan pertanyaan menggoda apakah dia setuju dengan keputusan pemerintah yang dianggap sebagian besar masyarakat di tanah air tidak popular itu? 

   Iwan pun menjelaskan persoalan mendasar apakah subsidi sebesar itu tepat sasaran atau tidak? “Sebagaimana diberitakan 70 persen tidak tepat sasaran. Bahkan untuk Pertalite dinikmati mayoritas  masyarakat menengah ke atas,  kalau akar rumput, kan, tidak punya mobil, apalagi diatas 1500 CC? Kalau dari segi keuangan jelas beban APBN menjadi berat,” paparnya.

       Hanya saja Iwan berpendapat sejatinya subsidi BBM jenis Pertalite untuk pemilik kendaraan roda tua tetap atau tidak ada penyesuaian harga.

     Kok bisa? Iwan menjelaskan bahwa saat ini banyak kendaraan roda dua beralih fungsi sudah menjadi alat produksi seperti ojek online (Ojol).

      Hal yang sama, tambah Iwan, juga berlaku untuk truk pengangkut sembako, hasil pertanian dan sebagainya termasuk kendaraan umum serta nelayan.

    “Langkah ini sedikit banyak akan mengurangi kenaikan harga dan jasa  dengan dalih naiknya BBM termasuk tarif transpor plus logistik. Disisi lain pendapatan msyarakat akar rumput melalui Ojol tidak berkurang. Bahkan, dengan program jaringan pengaman sosial yang mereka dapatkan melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) akan membuat mereka lebih kuat lagi. Sebab saya berpendapat kenaikan BBM untuk menekan subsidi itu bagaimana persentase 70 persen masyarakat menengah atas ‘penikmat’ BBM yang disubsidi itu menjadi nol,” argumen Iwan panjang lebar.

       Menurut hemat penulis apa yang dikemukakan Iwan itu tidak berlebihan mengingat salah satu tema besar alasan pemerintah menyesuaikan harga BBM itu adalah tidak tepat sasaranya yang membuat subsid membengkak.

      Lantas bagaimana kebijakan ini disikapi Pertamina? Pjs Vice President Corporate Communication Pertamina Heppy Wulansari mengatakan bahwa kebijakan penyesuaian harga BBM itu berdampak positif untuk perencanaan keuangan perusahaan minyak pelat merah ke depan. Terlebih, momentum harga minyak mentah dunia masih mengalami penguatan hingga pertengahan tahun ini.

      "Kebijakan tersebut [penyesuaian harga] berdampak positif bagi keuangan Pertamina, khususnya dalam perencanaan cash flow perusahaan," kata Heppy saat dihubungi, Minggu (4/9/2022).

    Dengan demikian, kata Heppy, Pertamina relatif bakal memiliki perencanaan keuangan yang lebih lancar untuk pengembangan proyek yang menjadi portofolio perseroan. 

   Misalnya, sambungnya seperti ditulis katadata.com, Pertamina mencatat 14 proyek kilang yang ditarget rampung hingga 2027. Adapun, dana yang dibutuhkan mencapai US$40 miliar atau sekitar Rp569,44 triliun, kurs Rp14.236. 

    Proyek itu akan meningkatkan kapasitas produksi Pertamina dari kemampuan saat ini yang hanya 729.000 barel per hari menjadi 1,5 juta barel per hari. Selain itu, fleksibilitas dan kualitas pemurnian minyak mentah juga ditingkatkan untuk mengejar keekonomian produk.

     Apa yang dikemukan Pjs Vice President Corporate Communication Pertamina Heppy Wulansari ini  tidak berlebihan mengingat utang pemerintah kepada perusahaan plat merah itu terbilang besar kalau tidak mau dikatakan segunung. 

   Ya, utang tersebut merupakan kompensasi yang harus dibayar oleh pemerintah kepada Pertamina dalam hal menjual BBM di bawah harga keekonomian. Ambil contoh harga keenomian Pertalite menurut Menkeu Sri Mulyani   Rp 14.450 per liter. Meski  mengalami penyesuaian harga semula dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10 ribu maka pemerintah tetap mensubsidi komoditas itu sebesar Rp4450 per liter. Nah, biaya selisih itulah yang menjadi biaya kompensasi pemerintah kepada Pertamina.

      Menariknya, harga Indonesia Cruide Price (ICP) atau minyak mentah Indonesia  yang menjadi bahan baku pembuat produk BBM ditilik dari pendapatan negara  memang cukup menguntungkan. Namun bagi Pertamina justru menjadi beban tersendiri.

   Kok bisa? Ya, karena Pertamina membeli minyak mentah dari pemerintah sebelum dimasak di kilang milik mereka notabene berdampak terhadap cash flow perusahaan yang berdiri 10 Desember 1957 itu.

       Dari data rangkuman yang penulis kutip dari berbagai sumber  menyebutkan utang pemerintah kepada Pertamina 2017 sebesar Rp20,78 triliun,  tahun 2018 mencapai Rp 84 triliun, 2019 sekitar Rp30,86 triliun, 2020 dan 2021 sekitar Rp 69,5 triliun.   

      Memang ada sebagian dari utang-utang itu diangsur pemerintah. Namun demikian,  pemerintah ditengarai memiliki kewajiban Rp 109 triliun  sampai akhir 2021.

      Menyoali mengunungnya utang pemerintah kepada Pertamina, pemerhati energi asal Riau Bambang Irawan ST berpendapat seyogianya pemerintah melunasi utang tersebut agar  perusahaan plat merah itu fokus terhadap pembangunan kilang baru.

     “Dalam bisnis saat modal kita kalah jauh dari mitra maka siap-siaplah kita didikte yang muara akhirnya bukan kesetaraan, tapi bagaimana mereka dapat kompensasi lebih banyak, dan saya menduga banyak kerjasama yang dilakukan Pertamina dengan pihak luar akhirnya putus di tengah jalan mungkin ini penyebabnya. Disamping  Pertamina punya hitungan sendiri dan mereka lebih tahu apakah kerjasama menguntungkan atau tidak,” paparnya panjang lebar.

       Tak hanya itu, sebut Bambang, kondisi yang dialami Pertamina sejatinya harus diketahui publik. Sebab, ketika ada pemberitaan bahwa perusahaan mengalami kerugian mayoritas masyarakat akan bertendesi macam-macam. 

    “Sejatinya skema seperti itu diberitakan. Sehingga publik tahu ada utang pemerintah kepada Pertamina terkait selisih harga keekonomian BBM dan sebagainya,” ungkapnya.     

   Dengan kondisi utang pemerintah menumpuk kepada Pertamina, membengkaknya subsidi plus impor BBM yang berdampak  tingginya defisit transaksi berjalan dan faktor lainnya, lantas apa yang harus dilakukan pemangku kepentingan demi mewujudkan kemandirian energi serta  ‘sehatnya’ APBN?

    Menurut pemerhati ekonomi Riau Annora Arsan SE, persoalan tersebut diatasi secara kompehensif bukan parsial. Artinya, semuanya bergerak bersamaan.

    Seperti pembangunan kilang baru, lanjut Annora, tidak bisa dihindari karena harus disesuaikan dengan jumlah konsumsi BBM nasional termasuk langkah-langkah lainnya yang mengarah kepada pengurangan impor BBM. “Jika tidak, tentu impor terus dilakukan maka akan terjadi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) tidak bisa dihindari,” katanya.

     Dengan kondisi seperti itu, sambung eksekutif muda ini, maka dibutuhkan  transaksi finansial yang tinggi. Jika tidak mencukupi maka simpanan yang ada di cadangan devisa akan terpakai.

   “Jika terjadi notabene rupiah akan mengalami tekanan karena kebutuhan dollar AS yang meningkat. Pasti akan merembet kemana-mana terlebih terhadap barang yang masih ada kandungan impornya otomatis akan naik,” ingatnya.

    Disisi lain, ingat  dia, adanya tekat pemerintah bahwa defisit fiskal maksimal 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2023.

     Hal ini ini sesuai dengan tax force yang dibuat oleh PBB, karena mereka mengidentifikasi suasana dan situasi tantangan global ini akan berpotensi kepada tiga area krisis yaitu pangan, energi, dan utang.

   Seperti diketahui, paska  pandemi COVID-19 angka defisit  diperbolehkan melebar dengan syarat hanya 3 tahun. Tahun 2020 dari target 6,34 persen, realisasi defisit sebesar 6,09 persen. Adapun tahun ini batas maksimum defisit diturunkan menjadi 5,7 persen.

   “Ya, kita memahami melebarnya range itu karena pandemik Covid-19. Namun defisit transaksi berjalan jika sudah mencapai 3 persen artinya sudah lampu kuning perlu berhati-hati. Oleh karena itu, penghematan pengunaan BBM termasuk pengetatan subsidi biar tepat sasaran perlu dilakukan sambil menunggu adanya keseimbangan antara sektor hulu dan hilir Migas. Kalaupun belum bisa nol paling tidak impor BBM tidak membengkak atau berkurang dari sebelumnya,” katanya.

    Ya, persoalan tingginya impor BBM, membengkaknya subsidi BBM salah satunya disebabkan belum terjadinya keseimbangan antara sektor hulu dan hilir Migas. Sinergisitas dua komponen besar industri Migas nasional itu harus  terwujud.

    Selain sebagai sarana terwujudnya kemandirian energi juga salah satu obat cespleng kuatnya struktur APBN. Sebab, ekonomi kuat butuh APBN sehat,   APBN sehat menjadikan masyarakat lebih sejahtera. 

Pengembangan SLC dan MNK oleh PT PHR merupakan salah satu ikhtiar anak perusahan Pertamina untuk menopang energi nasional untuk menambah potensi energi bagi negeri.

    Ini selaras dengan amanah bapak pendiri bangsa yang tertuang dalam UUD   1945 pasal 33 ayat 3; “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.  ***