Gubernur Soerjo Mirip Winston Churchill: Lebih Baik Hancur daripada Dijajah Kembali

(Dok: 10 November. ©Istimewa)

JAKARTA (Surya24.com) - Militer Inggris tidak mau berkompromi, para pejuang Indonesia bertekad mempertahankan Surabaya sampai mati.

Beberapa jam setelah militer Inggris menyebarkan ultimatum-nya ke seluruh Surabaya lewat sebuah pesawat dakota, para pejuang seluruh Surabaya pun berkumpul. Pertemuan pemuda dan kaum bersenjata di Surabaya itu memutuskan pengangkatan Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya dan Surachman sebagai Komandan Pertempuran.

Melansir merdeka.com, dari kumpulan itu pula muncul untuk kali pertama semboyan 'Merdeka atau Mati'. Terbit pula Sumpah Pejuang Surabaya yang berbunyi:

Tetap Merdeka!

 

Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggungjawab bersama, bersatu, ikhlas berkorban dengan tekad: Merdeka atau Mati!

Sekali Merdeka tetap Merdeka!

Ketidaktegasan Jakarta

Gubernur Soerjo sendiri menerima laporan mengenai keputusan para pemuda Surabaya sekaligus merestuinya. Sementara, Doel Arnowo menghubungi Jakarta dan berbicara langsung dengan Presiden Sukarno.

Menurut sejarawan Frank Falmos dalam Surabaya 1945, Sakral Tanahku, Sukarno menyatakan telah memerintahkan Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo untuk meminta Jenderal Sir Philip Christison (wakil Komandan Pasukan Sekutu untuk wilayah Asia Tenggara) membatalkan ultimatum namun yang bersangkutan menolaknya. Menurut Soebardjo, keputusan akhir sepenuhnya di tangan Gubernur Soerjo secara keseluruhan. Pernyataan Jakarta itu sontak menggusarkan Surabaya.

"Jawaban macam apa itu! Tidak bilang bertempurlah sampai darah penghabisan atau sekalian bilang menyerah saja. Tapi mereka malah bilang 'terserah Surabaya.' Pasti akan kami jawab: kami akan berjuang!" kenang Roeslan Abdulgani seperti dikutip Palmos

Pidato Soerjo

Pada akhirnya Gubernur Soerjo memang harus mengambil keputusan. Didampingi Doel Arnowo, tepat jam 21.00, Gubernur berbicara di depan corong Radio Surabaya:

 

Saudara-saudara sekalian!

Pucuk pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa di Surabaya pada hari ini. Tetapi sayang sekali, sia-sia belaka, sehingga kesemuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di Surabaya sendiri.

Semua usaha kita untuk berunding, senantiasa gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yakni berani menghadapi segala kemungkinan.

Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu. Dalam menghadapi segala kemungkinan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara pemerintah, rakyat, TKR, Polisi dan semua badan-badan perjuangan pemuda dan rakyat kita.

Mari kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa, semoga kita sekalian mendapat kekuatan lahir batin serta rahmat dan taufik dalam perjuangan.

Selamat Berjuang!

Menurut Palmos, Soerjo menyampaikan pidatonya dalam nada serius, mirip gaya pidato Perdana Menteri Inggris Winston Churchill saat Perang Dunia II. Sangat berbeda dengan pidato Bung Tomo sebelumnya yang berapi-api dan berdarah-darah. Pidato Soerjo terdengar sangat terhormat dan berwibawa.

"Namun dia berpidato tanpa bertele-tele dan memahami keinginan rakyat Surabaya untuk melawan tentara Inggris," kenang Hario Kecik.***