Kisah Dua Jenderal Kopassus Bertemu Mantan Lawan Tangguh di Medan Perang

(Bong Kee Chok alias Yusuf Said. ©2022 Merdeka.com)

JAKARTA (SURYA24.COM) - Di medan perang dulu keduanya berhadapan sebagai lawan. Puluhan tahun kemudian setelah keadaan damai mereka bertemu lagi. Adakah dendam? Atau malah menjadi sahabat.

Bong Kee Chok alias Yusuf Said pernah menjadi menjadi target utama pasukan gabungan Indonesia-Malaysia akhir periode tahun 1960-an. Ribuan prajurit kedua negara memburunya di belantara Kalimantan.

Di era Orde Lama, Bong Kee Chok sebenarnya dilatih tentara Indonesia saat konfrontasi dengan Malaysia. Dia mendirikan Pasukan Gerilya Serawak (PGRS) untuk memerangi Inggris bersama tentara Indonesia.

 

Namun situasi politik berubah. Indonesia di bawah Orde Baru, berbalik memusuhi PGRS, karena dicap komunis. Bong Kee Chok dan anak buahnya pun terpaksa memerangi tentara Indonesia yang mereka anggap guru sendiri.

Bukan perkara mudah menangkap komandan gerilya ini. Indonesia dan Malaysia mengerahkan satuan elitenya untuk terus melacak jejak Bong Kee Chok.

Melansir merdeka.com, aalah satunya adalah AM Hendropriyono dan tim pasukan elite baret merah TNI AD. Hendro saat itu masih menjadi perwira pertama. Hendro berhasil menangkap atau menewaskan tokoh-tokoh gerilyawan di Kalimantan. Tetapi Bong, pria yang digelari si tikus hutan ini, tak tertangkap.

 

Baru pada November 1973, akhirnya Bong Kee Chok mau keluar hutan dan menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah Malaysia.

Bertemu Setelah 38 Tahun

Pada tahun 2005, Hendropriyono yang sudah pensiun dari TNI dan berpangkat jenderal, baru bisa melihat wajah Bong Kee Chok. Pertemuan itu digelar di Hotel Four Seasons Singapura berkat jasa kenalan Hendro.

Pengalaman ini ditulis Jenderal (Purn) AM Hendropriyono dalam buku Operasi Sandi Yudha, Menumpas Gerakan Klandestin yang diterbitkan penerbit Kompas tahun 2013.

Setelah 38 tahun, Hendro akhirnya bisa bertemu bekas musuhnya. Dia menggambarkan sosok Boong Kee Chok. Tingginya sekitar 163 cm, tubuhnya masih kekar dan otot-otot lengannya terlihat jelas walau saat itu sudah berusia 70 tahun.

Namun sorot mata sang komandan harimau yang mengesankan Hendro.

"Dengan sorot mata laksana harimau, jelas menunjukkan ia seorang pemimpin, seorang pemberani, dan seorang yang cerdas," kata Hendro melukiskan pertemuan pertama tersebut.

Luka Bekas Ledakan Granat

Tak ada amarah atau dendam tersisa. Hanya rasa hormat dan rasa saling mengagumi antar dua prajurit tua ini.

Keduanya berbincang akrab. Ternyata Bong Kee Chok kehilangan jari tengah dan telunjuk tangan kanan saat bergerilya. Penyebabnya ternyata granat tua dari Indonesia yang meledak sebelum dilempar. Sementara luka-luka lama Hendro saat berduel dengan salah satu pimpinan PGRS, Ah San, juga masih ada.

Banyak pikiran yang berkecamuk, seperti kenapa dulu saling bertempur dan saling menyiksa hanya karena perang yang mau memaksakan ideologi, keyakinan atau kehendak suatu pihak kepada pihak yang lain?

Tapi keduanya tak menyesal dengan pilihan yang diambil. Hendro sadar dirinya prajurit Indonesia yang wajib membela negara. Dalam bertempur pilihannya membunuh atau dibunuh. Bong Kee Chok pun seperti itu.

Keduanya berjabat tangan erat sebelum berpisah. Tertawa. Mengenang pengalaman masa muda mereka sebagai sesama prajurit tempur.

 

Nyaris Ditembak SAS di Belantara Kalimantan

Kisah kedua dialami Jenderal TNI Benny Moerdani. Tahun 1960-an, Benny bertugas dalam Operasi Dwikora menghadapi Tentara Inggris di Belantara Malaysia.

Dalam sebuah misi, rupanya kepala Benny sudah masuk dalam bidikan sniper SAS. Nyaris saja nyawanya melayang di tangan penembak jitu pasukan elite Inggris itu.

Dalam kunjungannya ke inggris pada 1976, dan sudah menjadi jenderal, barulah Benny mengetahui peristiwa bertahun-tahun silam itu. Saat itu Benny mengunjungi Inggris dalam tugas kenegaraan. Di sana dia tak sengaja bertemu dua prajurit SAS mantan musuhnya di belantara Kalimantan.

Kisah ini ditulis dalam buku 'Benny: Tragedi Seorang Loyalis' yang ditulis Julius Pour terbitan Kata Hasta Pustaka tahun 2007.

Benny terkejut ketika mengetahui dia sudah menjadi sasaran tembak personel SAS. Untuk mengetahui lebih dalam, Benny mengajak dua personel SAS tersebut ke penginapannya. Tanpa menunggu lama, Benny lantas memberikan pertanyaan.

"Apa betul kamu bertugas di sana waktu itu?" tanya Benny kepada kedua prajurit Inggris itu.

"Yes Sir," jawab mereka serentak.

“Kenapa tidak kau tarik pelatuknya?" desak Benny ingin tahu.

Mendengar itu, salah seorang prajurit segera mengapit rekannya, dia memberi jawaban.

"He told me to wait for the Queen Elizabeth, Sir (dia meminta saya untuk menunggu Queen Elizabeth, Pak)."

Queen Elizabeth adalah kode untuk kapal yang lebih besar. Mereka menyangka di belakang Benny ada kapal besar yang mengangkut pasukan TNI dalam jumlah besar. Jadi mereka menunggu iring-iringan, baru memulai serangan.

Hanya saja, dalam penyusupan itu, tak ada kapal besar lain selain sejumlah sampan kecil yang memuat pasukan Indonesia. Nyawa Benny pun selamat.

Benny terkejut mendengar keterangan prajurit SAS itu. Namun kemudian dengan tenang dia berkata.

"Jika kau menarik pelatuknya, kau akan mendapat korban dengan pangkat tertinggi di pasukan kami."***