Dikabarkan Tarif Listrik Naik 1 April? Ini Penjelasan Kementerian ESDM

(ANTARA FOTO/M Agung Rajasa).

JAKARTA (SURYA24.COM) - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang mengkaji dan memilah profil konsumen atau pelanggan listrik. Hal ini mereka lakukan untuk menentukan kebijakan tarif listrik non-subsidi, termasuk menaikkan harganya pada 1 April 2023.

Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menjelaskan pihaknya memang diperbolehkan regulasi untuk menaikkan tarif listrik. Menurut aturan, Kementerian ESDM dimungkinkan untuk melakukan penyesuaian tarif listrik per 3 bulan atau secara kuartalan.

 

"Jadi setiap ada rencana seperti itu, Pak Menteri (Arifin Tasrif) berkomunikasi dengan Presiden (Joko Widodo). Kami sedang melakukan kajian untuk triwulan kedua, untuk yang posisi nanti 1 April. Kami sudah melakukan perhitungan," kata Dadan di Kantor Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jakarta Selatan, seperti dilansir cnnindonesia.com, Selasa (31/1).

"Yang pasti kami terus memastikan bahwa yang berhak mendapatkan subsidi, itulah yang mendapatkan subsidi. Kami sedang memilah-milah profil konsumen," sambungnya.

Dadan memberi pemisalan ada pelanggan dengan golongan listrik 450 VA yang ternyata punya mobil. Dengan begitu, pihaknya bekerja sama dengan PLN agar subsidi listrik tidak salah sasaran.

Ia mengungkap sudah punya sekitar 9 juta data pelanggan PLN, lengkap dengan foto dan kelengkapan penunjang lain. Data tersebut bakal dijadikan dasar untuk menentukan mana pelanggan yang berhak menerima tarif subsidi.

"Kami sudah punya sekitar 9 juta data, dengan foto dan segala macam, (kerja sama) dengan PLN. Kami pilah-pilah yang paling pas. Karena ini tidak gampang, tapi kami harus terus maju. Harus sampai pada satu titik memutuskan harus seperti apa," pungkasnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana merinci bahwa PLN melayani 38 golongan pelanggan. Dari jumlah itu, 25 di antaranya pelanggan subsidi dan 13 golongan sisanya non-subsidi.

Rida menegaskan penyesuaian tarif untuk golongan pelanggan non-subsidi itu secara aturan bisa atau harus dilakukan per kuartal alias tiga bulan sekali. Namun, ada empat faktor utama yang mempengaruhi.

Pertama, kurs atau nilai tukar mata uang, yang menurut Rida tidak bisa dikontrol pemerintah. Kedua, besaran harga minyak. Ia menyebut harga minyak dunia bahkan lebih tidak bisa dikontrol.

 

Ketiga, inflasi. Sedangkan yang keempat atau terakhir adalah harga batu bara. Rida menyebut dua faktor terakhir masih bisa dikontrol oleh Pemerintah Indonesia.

Namun, kurs dan harga minyak dunia masih menjadi kendala. Menurutnya, pembicaraan soal peluang kenaikan tarif listrik golongan non-subsidi ini perlu melibatkan beberapa pihak di pemerintah, termasuk antara Kementerian ESDM hingga Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

"Jadi sementara kuartal pertama kita lihat kondisi di lapangan untuk menjaga daya beli pasar dan menunjang pemulihan secara umum, nasional. Karena ini kan industri besar, menengah, termasuk mal-mal, hotel. Untuk kuartal I ini sementara kami tahan untuk tidak disesuaikan," katanya dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Senin (30/1).

"Untuk kuartal berikutnya, April nanti, kami lihat dulu perkembangan kurs sama ICP (harga minyak dunia) tadi dan kondisi di lapangan lainnya. Saat ini memang yang bersifat tarif harus dibicarakan multisektor," imbuhnya.

Aturan kenaikan tarif listrik tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh PT PLN (Persero) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 3 Tahun 2020.

Dalam aturan itu disebutkan apabila terjadi perubahan terhadap realisasi indikator makro ekonomi (kurs, Indonesian Crude Price/ICP, inflasi, dan Harga Patokan Batubara/HPB) yang dihitung secara tiga bulanan, maka akan dilakukan penyesuaian terhadap tarif tenaga listrik (tariff adjustment).***