Tak Banyak yang Tahu Ternyata Ayah Johny Indo Tentara Belanda Membelot dan Berjuang untuk Indonesia

Sofia dan Mathias saat di Garut. (Dok:©Hendi Jo)

JAKARTA (SURYA24.COM)  - Merasa benci dengan perilaku penindasan yang dilakoni negaranya, seorang prajurit Belanda diam-diam membantu perjuangan gerilyawan republik Indonesia. Sejarah mencatat J.C. Princen merupakan seorang tentara Belanda yang membelot ke kubu pejuang Indonesia selama Perang Kemerdekaan berkecamuk pada 1947-1949. Namun menurut Princen, dia bukanlah satu-satunya.

    Ada puluhan serdadu Belanda lain yang secara terang-terangan menyatakan keberpihakan mereka kepada kaum republik. Bahkan di antaranya aktif berjuang bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan laskar.

    "Hanya 26 orang saja yang telah ikut membelot," ungkap Princen dalam otobiografinya, Kemerdekaan Memilih (disusun oleh Joyce van Fenema).

Kisah Ayah Johny Indo

      Dikutip dari merdeka.com, salah satu dari 26 prajurit itu adalah Mathias Ejkenboom, seorang pemuda Belanda yang merupakan ayah kandung dari Johny Indo. Nama Johny Indo dikenal cukup legendaris. Dikenal sebagai bekas residivis yang pernah lari dari tahanan di Pulau Nusakambangan.

     Mathias dikirim ke Indonesia pada awal 1947 berstatus sebagai wajib militer. Kendati dia anti-perang dan sudah berupaya menolak sekuat tenaga, pemerintah Belanda tetap menuntut Mathias melakukannya. Akhirnya saat kapal laut yang mengangkut dirinya dan kawan-kawannya ke Indonesia berlabuh di Laut Tengah, Mathias membuat keputusan nekat. Dia menceburkan diri ke laut.

    "Sayangnya, ada rekan tentara lain yang memergokinya. Secepatnya dia ditolong," tulis Willy A.Hangguman dalam Johny Indo: Tobat dan Harapan.

     Sejak itu, Mathias diawasi secara ketat. Segala gerak-geriknya diperhatikan betul oleh para petugas Polisi Militer. Mereka mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dilakukan kembali oleh Si Penentang Perang itu.

     Begitu kapal laut merapat di Pelabuhan Tanjung Priok, Mathias dan kawan-kawannya langsung diberangkatkan ke Jakarta Pusat. Di sana mereka ditempatkan dalam sebuah tangsi militer yang berada tepat di Jalan Kenari.

Menyelundupkan Kekasih Hati

    Kendati dilarang keras untuk bergaul dengan penduduk sekitar tangsi, Mathias tidak peduli dengan aturan itu. Dalam waktu-waktu tertentu, dia malah sering sengaja mendatangi penduduk sekitar tangsi dan bergaul dengan mereka.

      Saat itulah, dia tertarik kepada seorang gadis Jalan Kenari asal Banten bernama Sofia (Mathias mengeja namanya dengan Sophie). Rupanya perasaan Mathias tak bertepuk sebelah tangan. Sofia menyambut cinta lelaki kelahiran Nijmegen tersebut. Persoalan datang ketika Mathias dan pasukannya harus pindah tugas ke Garut di Priangan Timur. Jika menuruti aturan, tentu saja dia harus melupakan Sofia.

    Namun Mathias terlanjur jatuh cinta kepada Sofia. Dia kembali membelot dan melakukan hal nekat. Dia menyelundupkan Sofia ke dalam truk yang akan mengangkut pasukan Belanda ke Garut. Sebelumnya, Mathias telah membekali gadis pujaannya itu dengan kartu tanda anggota palsu sebagai orang yang bertugas di dalam pasukannya.

  "Sia-sia saja orangtua ibu saya mencari dia kemana-mana," tutur Johny Indo.

     Singkat cerita, sesampai di Garut menikahlah pasangan muda yang tengah dimabuk asmara itu. Mathias mengikuti keyakinan Sofia, menjadi seorang muslim. Dia lantas berganti nama menjadi Muhammad Yahya. Dari pernikahan itu, pada 6 November 1948 lahirlah seorang bayi lelaki munggi yang kemudian diberi nama Johanes Hubertus Ejkenboom alias Johny Indo.

 

Memasok Senjata untuk Tentara Indonesia

      Pada suatu hari, Mathias tengah bertugas jaga di depan pos markas. Saat itulah dia melihat sebuah peristiwa kecelakaan. Sebuah dokar terguling masuk selokan. Tanpa menghiraukan posisinya sebagai petugas jaga yang tidak boleh meninggalkan pos-nya, Mathias lantas menolong orang-orang malang tersebut. Tak dinyana, salah satu dari mereka ternyata adalah seorang kepala desa yang pro republik.

     "Bermula dari kejadian itulah, ayah saya berkawan baik dengan kepala desa tersebut," ungkap Johny.

     Persahabatan itu menumbuhkan pengertian di dalam diri Mathias akan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Timbul rasa simpati-nya untuk ikut berjuang bersama orang-orang pribumi itu. Terlebih dia sendiri sejatinya sudah merasa muak dengan peperangan yang diembuskan negara untuk menindas orang-orang Indonesia.

     Mathias lantas membantu para pejuang republik dengan caranya. Diam-diam dia memasok senjata-senjata yang sudah tak terpakai dan sebenarnya harus dimusnahkan kepada para gerilyawan republik. Tentu saja itu dilakukan melalui sang kepala desa yang menjadi sahabatnya.

    Praktik itu terus berlanjut hingga tentara Belanda kembali ke negerinya pada akhir 1949. Mathias yang sudah merasa cinta dengan Indonesia tak ikut pulang. Dia malah memutuskan untuk meneruskan karir-nya di Seksi I bagian Intelijen Divisi Siliwangi dengan pangkat letnan satu.

     Banyak tugas-tugas intelijen yang telah dilakukannya, termasuk saat terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pimpinan Kapten R.P.P. Westerling. Saat itu Mathias ditugaskan untuk menginfiltrasi sebuah komunitas orang-orang Belanda yang dicurigai terkait dengan gerakan APRA.

 

    Karena merasa jenuh dengan dunia militer, Mathias akhirnya meminta pensiun dini. Pada 1960. Permintaannya dikabulkan. Untuk menafkahi keluarga kecilnya, dia lantas membuka usaha bengkel di kawasan Mangga Dua, Jakarta.***