Lihat Fatmawati Menangis Gegara Sukarno Kawin Lagi, Hati Bung Tomo 'Teriris'

(Dok:net)

JAKARTA (SURYA24.COM)- Perkawinan antara Presiden pertama Indonesia, Soekarno, dengan Fatmawati merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Mereka menikah pada tanggal 26 Desember 1943 di Yogyakarta.

Soekarno bertemu dengan Fatmawati pada tahun 1943 ketika dia mengunjungi rumah orang tua Fatmawati di Bengkulu. Fatmawati adalah seorang mahasiswi kedokteran yang aktif dalam gerakan nasionalis Indonesia. Setelah bertemu dengan Fatmawati, Soekarno jatuh cinta dan memutuskan untuk menikahinya.

Pernikahan mereka dihadiri oleh banyak tokoh nasionalis Indonesia, termasuk Soepomo, Mohammad Hatta, dan Achmad Soebardjo. Meskipun pernikahan ini terjadi selama masa pendudukan Jepang di Indonesia, pernikahan ini tetap dianggap sah dan diakui oleh pemerintah Indonesia.

Dari pernikahan ini, Soekarno dan Fatmawati memiliki lima anak, yaitu Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Namun, pernikahan mereka tidak berlangsung lama dan akhirnya berakhir dengan perceraian pada tahun 1950.

Meskipun demikian, pernikahan antara Soekarno dan Fatmawati tetap menjadi salah satu momen penting dalam sejarah Indonesia. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan pernikahan mereka menunjukkan komitmen mereka untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia bersama-sama.

Tangisan Fatmawati

Pada 1950an, Jakarta diguncang berita percintaan Bung Karno dengan wanita bernama Hartini. Hal itu tentu menuai banyak pertentangan dan mengundang banyak reaksi. Termasuk Bung Tomo.

Bung Tomo pertama kali mengetahui kisah percintaan Bung Karno, dari Bambang Soegeng kepala staff TNI Angkatan Darat datang ke kantor pusat BPRI. Dengan raut muka yang serius Bambang menyampaikan sebuah berita mengejutkan tentang Sukarno kepada Bung Tomo.

"Waduh gawat, Bung Karno pacaran dengan seorang wanita dari Salatiga. Seorang wanita yang masih mempunyai suami. Sudah kita peringatkan, tetapi Bung Karno ngotot hendak dinikahi," Ucap Bambang serius yang ditulis Sulistina dalam buku Bung Tomo Suamiku yang dilansir merdeka.com.

"Astagfirullah, bagaimana ya Pak Bambang, itukan merusak pager ayu. Nanti bagaimana ya akibatnya?" Jawab Bung Tomo.

Mendengar berita yang disampaikan Bambang Soegeng tadi membuat hati Bung Tomo sedih dan khawatir. Sebagai seorang pejuang kemerdekaan untuk negara, di tengah negara masih butuh banyak berbenah, sang kepala Negara justru ingin kawin lagi.

Bung Tomo mempertanyakan bagaimana negara kita ini nantinya. Terlepas dari Sukarno yang ingin kawin lagi, Bung Tomo meyakini satu hal bahwa yang menyebabkan negara hancur adalah 'HARTA-TAHTA-WANITA'.

Jadi Saksi Tangisan Fatmawati

Mengisi waktu senggang Bung Tomo membuat Harian Kapal. Pada suatu kesempatan Bung Tomo diajak oleh Sukarno ke NTT naik kapal perang Bintang Jadayat. Rombongan presiden itu ada Ibu Fatmawati, B.M. Diah dan istri, Bambang Soegeng, ada ulama dan para ajudan kepresidenan.

Dalam perjalanan di atas kapal, saat Bung Tomo akan memberikan bulletin kepada Bambang Soegeng, ia bertemu Ibu Fatmawati yang sedang bersandar di pagar kapal, memandang laut dengan wajah sayu.

"Bu Fat nangis di geladak," Ucap Bung Tomo pada Bambang Soegeng.

"Lho, kan Bung Karno sudah jadi nikah lagi! Suasana sedang tegang," Jawab Bambang Soegeng.

Mendengar itu Bung Tomo merasa sangat kecewa. Jelas berita itu mengiris hati Bung Tomo yang terkenal romantis, bahkan istrinya membenarkan bahwa Bung Tomo adalah orang yang romantis dan sangat menjaga perasaan istrinya.

Hubungan Buruk Antara Sukarno dan Bung Tomo

Setelah menyaksikan Ibu Negara menangis di kapal perang Bintang Jadayat. Bung Tomo sempat menanyakan kebenaran berita sang presiden yang menikah lagi.

Pagi hari di istana negara, Bung Tomo diundang datang untuk sarapan. Selepas makan Bung Tomo bertanya pada Sukarno. Sayangnya pertanyaan Bung tomo dijawab dengan penuh emosi.

"Kowe iki ngerti opo, arek enom, kok! (Kamu itu mengerti apa, anak muda!)" Ucap Sukarno kencang.

Pagi itu terjadi cekcok antara Bung Tomo dan Sukarno. Hubungan mereka setelahnya bisa dikatakan merenggang. Bahkan Bung Tomo pernah menggugat Sukarno ke Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada 24 Agustus 1960 karena membubarkan DPR melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.***