Ketika Meriam dan Tank di Arahkan ke Istana, Bagaimana Sikap Bung Karno? Ini Ulasannya

Angkatan Perang Serang Istana Negara 17 Oktober 1952. (Dok:©2022 Merdeka.com)

JAKARTA (Surya24.com) - Ada kalanya ketika meriam dan tank ABRI mengarahkan serangannya ke Istana Negara. Peristiwa itu diperingati sebagai 'Peristiwa 17 Oktober 1952'. Dalam peristiwa itu, ABRI sebagai alat pertahanan negara bukannya melindungi justru mengarahkan bidikannya ke arah istana. Apa yang terjadi?

Setelah pengakuan kedaulatan, pimpinan angkatan perang khususnya Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) dan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) berusaha memajukan TNI.

TNI yang terdiri atas pejuang-pejuang bermodalkan semangat dan loyalitas tinggi akan ditingkatkan menjadi Angkatan Perang yang lebih tinggi mutu teknisnya. Serta diikat disiplin yang melembaga. Jika usaha ini berhasil, Angkatan Perang akan menjadi sebuah kekuatan yang dapat mengimbangi partai politik dan golongan politik pada umumnya.

Melansir merdeka.com, ditambah lagi adanya fakta yang tertulis dalam buku Sejarah TNI Jilid II. Pada masa awal kemerdekaan, pemerintah pernah menetapkan sebuah kebijakan untuk menempatkan TNI atau ABRI dalam kursi-kursi pemerintahan yang kosong. Hal ini lantas dianggap sebagai ancaman bagi kelompok partai politik. Oleh karena itu, mereka berusaha mencegahnya dengan cara memengaruhi pion-pion politik yang ada dalam Angkatan Perang.

Kudeta terhadap AH Nasution

Langkah ini dimulai ketika UUDS 1950 menetapkan adanya sebuah supremasi sipil atas militer. Kemudian, seorang perwira senior yakni Bambang Supeno berusaha menggalang dukungan panglima-panglima daerah untuk menggulingkan atasannya yakni Kolonel AH. Nasution. Namun usulan itu tidak mendapatkan suara penuh pada pertemuan 12 Juli 1952.

Keesokan harinya, Bambang Supeno menulis surat langsung kepada Perdana Menteri, Menteri Pertahanan dan parlemen. Di dalam surat itu, dia menyatakan ketidakpercayaannya kepada Kasad AH. Nasution. Berbekal surat itu, parlemen menggelar sidang yang membahas mosi untuk menuntut perbaikan dalam pimpinan dan organisasi Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang.

Mengetahui mauver yang dilakukan Bambang Supeno, Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku Menteri Pertahanan mencopot jabatan Bambang Supeno. Namun keputusan itu gagal. Lantaran ditolak Presiden.

Pada 18 Juli 1952, KSAP mengirimkan sebuah surat kepada pemerintah yang berisi permintaan penyelesaian masalah sesuai dengan prosedur militer. Hal ini kemudian ditanggapi serius. Pada perkembangan selanjutnya, KSAP menugaskan Kolonel Djatikusumo menggelar rapat kolegial dihadiri para perwira menengah yang ada di Jakarta pada 10 Oktober 1952.

Pertemuan antara para perwira berlanjut pada 11 dan 15 Oktober 1952. Hasilnya, angkatan perang siap menghadapi permasalahan ini.

Sementara itu, DPR(S) mengeluarkan putusan hasil sidang pada 16 Oktober 1952 dengan hasil:

 

1) Mosi Burhanuddin sebagai mosi tidak percaya;

2) Mosi Kasimo/Natsir yang menuntut peninjauan kembali susunan

Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang RI;

3) Mosi Manai Sophiaan/Arudji/Idham Chalid yang menuntut peninjauan kembali Angkatan Perang.

Kalangan militer menanggapi mosi-mosi di atas sebagai intervensi langsung terhadap persoalan internal TNI AD. Setidaknya begitu yang diungkapkan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia jilid VI.

Ditambah lagi dengan fakta bahwa kurang lebih separuh dari anggota DPRS berasal dari 'negara-negara bentukan Belanda' yang tidak memiliki riwayat perjuangan dalam Perang Kemerdekaan. Ini menambah kegetiran di kalangan TNI AD.

Serangan ke Istana

Pada tanggal 16 dan 17 Oktober 1952, pimpinan Angkatan Darat dengan para panglima teritorium mengkhawatirkan stabilitas nasional akibat mosi yang diajukan oleh parlemen. Kondisi ini mendorong mereka menandatangani surat pernyataan yang menginginkan adanya pembubaran parlemen.

Presiden Sukarno mendengarnya dari Kolonel Mustopo. Bung Besar menolak mendengarkan desakan pembubaran parlemen. Bung Karno juga menginginkan penyelidikan lebih dahulu terkait keinginan rakyat di luar Jakarta dan mendesak diadakannya Pemilu.

 

Demonstrasi tidak terelakkan. Tepat 17 Oktober 1952, para demonstran yang terdiri atas angkatan perang memasuki gedung DPRS. Merusak beberapa peralatan dan mengarahkan senjata mereka ke Istana. Mereka mendesak pembubaran DPRS. Presiden Soekarno berdiri di hadapan para demonstran. Bung Karno menolak desakan itu.

"Saya bukan diktator dan para demonstran hanyalah sebagian rakyat Jakarta dan tidak mewakili seluruh rakyat Indonesia," ujar Bung Karno.

Peristiwa ini menimbulkan perpecahan di dalam Angkatan Darat. Diperlukan beberapa tahun untuk mengatasinya.

Sementara itu, KSAP Jenderal Mayor TB. Simatupang diberhentikan dari jabatannya. Tak hanya itu, jabatan KSAP pun dihapuskan. Sedangkan Kasad Kolonel AH. Nasution mengajukan permintaan berhenti sebagai bentuk pertanggungjawaban dan digantikan oleh Kolonel Bambang Sugeng.

Pada 22 November 1952, pemerintah mengeluarkan keterangan tidak terjadi kudeta atau percobaan kudeta pada 17 Oktober 1952. Selanjutnya pemerintah berhasil mengusahakan Angkatan Perang kembali kepada tugas sehari-harinya. Namun, peristiwa ini mulai menggoyahkan Kabinet.***