Suku Zimba, Memakan dan Menjual Daging Manusia di Pasar NGERI !

Misi pencarian seorang kanibal di pedalaman Afrika karya Paule Crampel. (Dok:Paule Crampel/Alamy/ Nationalgeographic.co.id)

JAKARTA (Surya24.com) –Sebuah tulisan berjudul Ethiopia Oriental (1995) karya João dos Santos diterbitkan pada tahun 1609, berdasarkan tempat tinggalnya selama sebelas tahun (1586–1597) di Afrika, Ethiopia.

Pada saat itu, 'Ethiopia' adalah istilah geografis yang lebih umum untuk benua tersebut—digunakan untuk menyebut seluruh daratan Afrika dengan menjadikan judul tersebut sebagai referensi ke seluruh Afrika Timur.

Melansir nationalgeographic.co.id, dalam beberapa referensi, komunitas Zimba berdiaspora ke beberapa kawasan di Afrika. Basis terbesar mereka terdapat di wilayah Mozambik dan Zimbabwe saat ini. Kisah Zimba juga dituliskan dalam salah satu riset ilmiah.

Eric Allina menulis dalam jurnal Journal of Southern African Studies berjudul "The Zimba, the Portuguese, and other cannibals in late sixteenth-century Southeast Africa" yang terbit pertama kali pada tahun 2011.

Dalam jurnal tersebut, Allina menggambarkan perjalanan João dos Santos yang termaktub dalam kitab gubahannya, tentang sebuah "peristiwa paling menyedihkan yang terjadi saat dia tinggal di Sena."

 

Sena merupakan sebuah pemukiman Portugis di Lembah Zambesi, yang melibatkan orang-orang yang disebutnya 'Muzimba Kafir'. Suku Muzimba atau yang dikenal dengan Zimba, mempraktikkan kanibalisme.

"Mereka tidak hanya memakan daging lawan mereka yang kalah di medan perang 'tetapi juga tawanan mereka ketika mereka sudah tua dan tidak lagi layak untuk bekerja," imbuhnya.

Tidak berhenti di situ, mereka yang tidak puas dengan memakan daging manusia untuk membuat mereka bertenaga dan lebih kuat dari sebelumnya, mereka juga menjual daging yang tersisa di pasar!

"Orang-orang Zimba menjualnya di pasar, seolah-olah itu adalah daging lembu atau domba dan tanpa ada yang merasa aneh," tambahnya lagi. Yang lebih mengerikan lagi, setelah membunuh tawanan mereka, Zimba meminum darah dari tengkorak lawannya.

Ketika orang-orang Zimba sendiri terluka dalam pertempuran atau jatuh sakit, kawanan Zimba yang lainnya akan membunuh dan memakan mereka. Konon, mereka melakukan itu "agar mereka tidak perlu menanggung tugas untuk menyembuhkan yang sakit," terusnya.

João Dos Santos menulis tentang bagaimana, pada tahun 1592, Zimba menginvasi sebuah komunitas Afrika yang terletak di seberang benteng Portugis di Sena. Selain berperang dengan pemukim di sekitar benteng Portugis dan merebut tanah mereka, Zimba membunuh dan memakan banyak orang.

Pemimpin orang-orang Afrika yang diserang—yang merupakan 'tetangga baik dan teman baik Portugis'—mendekati sang kapten benteng Sena dan memohon 'bantuan untuk mengusir musuh yang menguasainya', orang-orang Zimba.

Kapten, André de Santiago, menanggapi dengan baik apa yang menurut João dos Santos sebagai 'permintaan saleh' dengan mengumpulkan kekuatan tentara Portugis untuk membantu merebut kembali tanah sekutunya.

Namun, setelah mencapai perkemahan tentara Zimba, mereka menemukan kamp Zimba telah dibarikade dengan aman. Kekuatan benteng memaksa Santiago untuk menilai kembali strateginya, terlepas dari dua buah meriam yang dia bawa dari benteng.

Orang-orang Portugis mendirikan kemah, ia mengirim bala bantuan dari benteng Portugis lainnya di Tete, yang terletak lebih jauh di atas Zambesi. Bala bantuan ini terdiri dari lebih dari 100 tentara Portugis dan Afro-Portugis bersenjata.

Namun, telik sandi Zimba mengetahui kedatangan Portugis yang hendak menyerang. Tentara Zimba meninggalkan bentengnya di bawah perlindungan malam untuk menyergap bala bantuan dalam perjalanan, mereka bergerilya.

Orang Zimba yang mengetahui kedatangan mereka, lantas menyerang mereka secara tiba-tiba dengan kekerasan sedemikian rupa sehingga dalam waktu singkat mereka semua terbunuh.

"Tidak ada yang selamat dalam pengepungan itu," ungkapnya lagi. Setelah membunuh mereka, para Muzimba memotong kaki dan tangan mereka, yang mereka bawa di punggung mereka dengan semua barang bawaan dan senjata yang mereka bawa.

Setelah itu mereka kembali ke benteng mereka. Ketika para pemimpin dan pasukan Afrika mencapai semak-semak dalam upaya menyusul penyerangan, mereka menemukan semua orang Portugis dan kapten mereka tewas secara tragis. Mereka kembali dari tempat itu dan mundur ke Tete. Mereka kemudian menceritakan peristiwa menyedihkan yang telah terjadi.

João dos Santos tak terima dengan kekalahan dan bersiap membangun kekuatan militer yang lebih besar lagi. Alhasil, pertempuran antara Zimba dan Portugis terjadi berlarut-larut.

Bagaimanapun, orang-orang Eropa dengan kemampuan militer dan kesiapan persenjataan tetap mendominasi. Zimba yang sadis itu akhirnya dapat ditaklukan dan hanya menyisakan 100 orang (mereka melarikan diri) dari ratusan ribu komunitas mereka di Afrika.

Semua penggambaran ini dikisahkan secara tragis dan dramatis dalam jurnal gubahan Allina yang bersumber dari Ethiopia Oriental (1995), tentang suatu komunitas bernama Zimba yang memiliki tradisi kanibal dan sadis.***