Bahaya Amuba Pemakan Otak, Satu Warga AS Tewas Setelah Terinfeksi: WADUH Virus Zombie yang Terkubur 48.500 Tahun Dihidupkan Kembali

Ilustrasi otak manusia. (©2012 Merdeka.com/shutterstock/Alex Mit)

JAKARTA (SURYA24.COM) JAKARTA- Amuba pemakan otak telah memakan korban jiwa. Seorang warga Florida, Amerika Serikat (AS) meninggal setelah terjangkit amuba pemakan otak yang langka, menurut keterangan pejabat pemerintah.

     Pakar kesehatan di Charlotte County, Florida tenggara mengatakan korban tersebut kemungkinan terinfeksi amuba setelah membasuh hidungnya dengan air keran.

   Para pejabat belum mengidentifikasi identitas korban, seperti dikutip dari BBC, Kamis (9/3). Amuba bernama Naegleria fowleri itu menginfeksi otak melalui hidung. Menurut pejabat, minum air tidak berbahaya.

    Menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC), infeksi amuba ini hampir selalu berakibat fatal.

    Pada 23 Februari, tulis merdeka.com, Departemen Kesehatan Florida mengatakan seorang pasien terinfeksi setelah membasuh hidungnya dengan air keran. Pada Kamis pekan lalu, juru bicara departemen, Jae Williams mengonfirmasi pasien tersebut telah meninggal.

    Williams mengatakan, para pejabat di sejumlah badan pemerintah melanjutkan penyelidikan bagaimana infeksi amuba ini terjadi.

    Amuba ini bisa menyebabkan infeksi parah jika menjangkiti manusia melalui hidung, tapi biasanya aman jika melalui mulut karena asam dalam perut bisa membunuh sel tunggal mikroorganisme.

    Gejala yang dirasakan orang yang terinfeksi di antaranya sakit kepala, demam, mual, muntah-muntah, leher kaku, kehilangan keseimbangan, dan halusinasi.

 

    Menurut CDC, sekitar tiga orang Amerika terinfeksi amuba ini setiap tahun, sering kali berakibat kematian.

    Antara 1962 dan 2021, hanya empat dari 154 orang yang terinfeksi di AS yang selamat. Menurut data CDC, infeksi saat musim dingin sangat jarang terjadi.

       Untuk menghindari infeksi, warga diminta jangan membasuh hidung dengan air keran. Lebih baik menggunakan air yang sudah dididihkan atau disterilisasi.

    Warga juga diminta tidak membasuh hidungnya saat berada di kolam renang atau ketika mandi.

Mirip Film Sci-Fi

    Sementara itu dilaporkan suhu yang menghangat di Benua Arktik membuat permafrost (lapisan di bawah tanah beku) mencair dan membangkitkan lagi virus yang selama ini 'tidur' selama ribuan tahun dan bisa membahayakan hewan dan manusia.

    Meski pandemi yang disebabkan dari virus di masa lalu lebih mirip cerita film fiksi ilmiah, ilmuwan memperingatkan akan risiko bahaya itu jangan dianggap enteng. Limbah radioaktif dan kimia yang berasal dari masa Perang Dingin juga berpotensi mengancam ekosistem alam liar kala lapisan es mencair.

     "Ada banyak yang terjadi dengan permafrost yang harus dicermati dan menjadi sangat penting untuk menjaga permafrost tetap dalam keadaan beku," kata Kimberly Miner, ilmuwan iklim di Laboratorium NASA di Institut Teknologi California di Pasadena, California, Amerika Serikat, seperti dilansir laman CNN, Selasa (8/3).

    Wilayah permafrost meliputi seperlima kawasan belahan Bumi utara, termasuk di tundra Arktik dan daerah hutan Alaska, Kanada, dan Rusia selama ribuan tahun. Wilayah itu menjadi semacam kapsul waktu yang menyimpan berbagai sisa-sisa makhluk hidup yang termumifikasi, termasuk virus kuno.

Virus raksasa

     Alasan permafrost menjadi tempat yang baik untuk penyimpanan bukan hanya daerah itu sangat dingin, tapi juga karena tempat itu nir-oksigen karena minim cahaya matahari. Namun saat ini wilayah Arktik kian menghangat empat kali lebih cepat dari belahan bumi lain.

    Untuk lebih memahami risiko dari virus yang beku, Jean-Michel Claverie, profesor Emeritus kedokteran dan genom di Universitas Aix-Marseille,Prancis, menguji sejumlah sampel yang diambil dari permafrost Siberia untuk melihat apakah ada virus yang masih bisa menulari. Dia menyebut sampel temuannya itu 'virus zombie'.

     Claverie mempelajari sejumlah tipe virus tertentu yang pertama dia temukan pada 2003. Virus yang dia temukan dikenal dengan nama virus raksasa karena ukurannya yang lebih besar dari sejenisnya dan cukup mudah terlihat di bawah cahaya mikroskop standar tanpa perlu mikroskop elektron.

      Pada 2014 dia mampu menghidupkan lagi sebuah virus yang disimpan di permafrost oleh timnya. Untuk pertama kalinya sejak 30.000 tahun virus itu mampu menulari dengan memasukkannya ke dalam sel kultur. Untuk keamanan dia hanya mempelajari virus yang hanya bisa menulari amuba bersel satu, bukan hewan atau manusia.

Penyebab pandemi flu 1918

    Dalam penelitian terbarunya yang dipublikasikan pada 18 Februari lalu di jurnal Viruses, Claverie dan timnya mengisolasi varian virus kuno yang diambil dari sejumlah sampel permafrost yang berasal dari tujuh daerah yang berbeda di Siberia. Virus itu ternyata bisa menulari sel amuba.

    Dikutip dari merdeka.com, varian terbaru itu merupakan bagian dari lima keluarga virus berbeda. Yang tertua berusia hampir 48.500 tahun, berdasarkan uji karbon terhadap tanah yang diambil dari danau bawah tanah di kedalaman 16 meter dari permukaan.

 

      Penelusuran terhadap virus dan bakteri yang bisa menulari manusia ditemukan pada permafrost.

    Sampel paru-paru dari seorang jasad perempuan yang digali pada 1997 dari permafrost di sebuah desa di Semenanjung Seward di Alaska mengandung materi genom dari varian virus influenza yang menyebabkan pandemi flu pada 1918. Pada 2012, ilmuwan mengonfirmasi sisa jasad dari perempuan berusia 300 tahun yang termumifikasi di SIberia mengandung kode genetik daari virus yang menyebabkan cacar.***