Saiful Anam Sebut Jokowi Kebingungan Cari Investor untuk Proyek IKN, Ini Kata Menohok Pengamat Soal Investasi Rp175 T China

Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia, Saiful Anam/Ist/rmol

JAKARTA (SURYA24.COM) - Presiden Joko Widodo dinilai tengah kebingungan mencari investor yang mau berinvestasi di proyek pembangunan Ibukota Negara (IKN).

Penilaian itu disampaikan Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia, Saiful Anam, menanggapi kunjungan Presiden Jokowi menemui Presiden China, Xi Jinping.

"Saya lihat Jokowi sedang kebingungan mencari investor demi terpenuhinya keinginan membangun IKN," kata Saiful kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (30/7).

Perjalanan mencari investor itu, kata Saiful, akan dicatat publik, mampukah Jokowi mendapatkan investor yang benar-benar dapat diandalkan untuk membangun IKN.

"Dari dulu kan Jokowi tidak pernah jelas siapa sebenarnya investor besar IKN, mulai dari Arab, China, hingga Jepang. Namun semua tidak jelas kelanjutannya. Jangan sampai publik bosan dengan isu-isu yang tak jelas terkait investor IKN. Publik akhirnya akan berpikir bahwa Jokowi nol persen dalam proses pencarian investor IKN," urainya.

Mengutip Akademisi Universitas Sahid Jakarta itu juga meyakini, investor tidak terlalu respek kepada Jokowi, terlebih kekuasaannya sebentar lagi selesai. Investor tentu berpikir berjuta-juta kali untuk menginvestasikan dananya, apalagi proyek sebesar IKN.

"Jokowi kan sebentar lagi selesai masa jabatannya. Investor bisa jadi ketakutan, karena belum tentu apa yang jadi programnya dilanjutkan penggantinya. Tentu berpikir panjang untuk menanamkan modal, apalagi programnya IKN," pungkas Saiful.

Investasi Rp175 T, China Ingin Penerus Jokowi Tetap jadi Boneka?

 

Pemerintah China dianggap akan berada di belakang calon presiden (capres) yang didukung Presiden Joko Widodo untuk terus menjadi boneka.

Hal itu disampaikan Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi terkait rencana investasi senilai Rp175 triliun dari perusahaan asal China, Xinyi International Investment Limited usai Presiden Jokowi bertemu dengan Presiden China Xi Jinping pada pekan ini.

"Di akhir dan sisa pemerintahannya itu, China mau gelontorkan investasi senilai Rp175 triliun? Apakah dengan iming-iming Rp175 T ini Jokowi mau dipertahankan Xi Jinping sebagai bonekanya lagi?" ujar Muslim kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (30/7).

Muslim mengaku heran jika China mau berinvestasi ke Indonesia pada saat periode akhir kekuasaan Jokowi. Hal itu diyakini sebagai pertanda bahwa China ingin mempertahankan Jokowi agar tetap berkuasa terus.

"Tidak ada prestasi Indonesia dikepemimpinannya (Jokowi) di ASEAN, kok dipuji Jinping? Apakah karena Indonesia tidak punya sikap dalam kepemimpinan ASEAN dalam kasus Konflik China-Taiwan?" kata Muslim heran.

Bahkan menurut Muslim, investasi tersebut juga mengindikasikan bahwa China ingin Jokowi terus berkuasa, ataupun penerus Jokowi adalah orang yang tunduk dan tetap menjadi boneka China.

"Bisa jadi dengan pertemuan Xi Jinping-Jokowi di ujung kekuasaannya ini tunjukkan China akan berada di belakang pilpres pemenangan siapa presiden berikutnya. Termasuk mempertahankan Jokowi sebagaimana Xi Jinping amandemen UU China untuk buka jalan Xi terus berkuasa," pungkas Muslim. 

Semoga Tidak Ada Jebakan

Indonesia seperti mendapatkan durian runtuh setelah pertemuan Presiden Joko Widodo dan Presiden Xi Jinping di Sinchuan, China. Pasalnya, pihak China berjanji menggelontorkan dana investasi sebesar Rp173 triliun ke Indonesia.

Menyikapi hal tersebut mantan Menteri Keuangan RI Fuad Bawazier berharap dana investasi itu tidak disusupi jebakan dari China.

"Tergantung pada ketentuan dan syarat-syaratnya. Harus fair dan tidak memberatkan ataupun jebakan pada Indonesia," tegas Fuad Bawazier kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (30/7).

Fuad mengatakan dana tersebut memang dibutuhkan Indonesia untuk membayarkan utang yang kini mencapai 398,3 miliar dolar AS. Menurutnya, Jokowi mendekati China lantaran sulit melobi negara-negara Uni Eropa. Ini karena di Eropa sedang mengalami krisis fiskal yang cukup dalam.

Selain itu, konflik antara Indonesia dan WTO tentang biji nikel, juga menjadi penghambat masuknya investasi Uni Eropa ke Indonesia.

"Di negara negara Barat dana sudah semakin kering sehingga sulit diharapkan. Apalagi mereka sedang berperkara atau tepatnya memperkarakan Indonesia yang tidak mau lagi menjual bahan mentahnya pada Barat,” tutupnya. 

Semacam  Garansi Politik ke China

Ada makna khusus yang bisa dimaknai dari kunjungan Presiden Joko Widodo ke China dan bertemu Presiden Xi Jinping. Kunjungan yang digelar sejak Kamis (27/7) hingga Sabtu (29/7) ini adalah bagian dari komitmen Jokowi memenuhi undangan Xi Jinping.

Oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, kunjungan itu dimaknai sebagai pemberian jaminan politik dari pemerintah Indonesia ke China.

“Kunjungan ini semacam garansi politik saja dari pemerintah ke China,” katanya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (30/7).

 

Jokowi, katanya, seolah sedang memberi kepastian kepada China bahwa agenda ekonomi nasional setelah Pemilu 2024 mendatang akan terus dilanjutkan. Sekalipun ada risiko pergantian kepemimpinan di Indonesia.

Selain itu, dia melihat pertemuan ini juga untuk mempertahankan ambisi China berinvestasi di Indonesia. Terlebih, dalam pertemuan tersebut Indonesia mendapatkan jatah investasi dari China sebesar Rp173 triliun, dalam komitmen investasinya.

“Tapi ini juga berarti arah kebijakan banyak yang cenderung dipertahankan untuk memenuhi ambisi China. Beberapa proyek misalnya hilirisasi kecenderungannya akan memberi konsesi lebih besar ke China,” tutupnya.

Belum Tentu Dijalankan

Sebanyak delapan kesepakatan ditandatangani Presiden Joko Widodo dan Presiden China, Xi Jinping dalam kunjungan yang digelar sejak Kamis (27/7) hingga Sabtu (29/7) di Sichuan, China.

Namun demikian, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira sangsi delapan poin tersebut bisa dijalankan oleh pemerintah. Khususnya setelah pemimpin negeri ini berganti di tahun 2024 nanti.

 

“Bisa berubah. Karena, ini bukan kontrak, melainkan hanya nota kesepahaman. Bisa tidak dijalankan oleh presiden 2024, karena tidak mengikat,” kata Bhima kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (30/7).

Lebih lanjut, Bhima menangkap keanehan dalam pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan Presiden Xi Jinping. Seolah ada harapan besar dari Jokowi untuk China agar mau berinvestasi dalam megaproyek pembangunan infrastruktur ibukota negara (IKN) baru di Kalimantan Timur.

“IKN ini kan objek vital negara, tapi kenapa mengharapkan investasi asing, terutama dari China? Lagipula perjanjian tadi tidak mengikat. Masih punya ruang untuk diubah,” demikian Bhima Yudhistira.

Dalam pertemuan Jokowi dan XI Jinping lahir delapan kesepakatan, antara lain:

1. Protokol tentang persyaratan pemeriksaan dan karantina untuk ekspor serbuk konjac dari Indonesia ke China

2. Protokol tentang persyaratan phytosanitary untuk ekspor tabasheer dari Indonesia ke China

3. Rencana aksi kerja sama bidang kesehatan

4. Nota kesepahaman tentang pusat penelitian dan pengembangan bersama

5. Nota kesepahaman tentang kerja sama perencanaan berbagi pengetahuan dan pengalaman terkait pemindahan ibu kota baru Indonesia

6. Nota kesepahaman tentang peningkatan kerja sama Indonesia-China "two countries, twin parks”

7. Nota kesepahaman tentang pendidikan bahasa China

8. Nota kesepahaman tentang kerja sama ekonomi dan teknis.***